AL-QUR’AN
DAN HADIST
Disusun guna
memenuhi tugas
Mata Kuliah : Al-Qur’an dan Hadist
Dosen Pembimbing : Dra. Urwati HN, M.Pd.I
DISUSUN
OLEH :
KELOMPOK
1
JULITA SARI : 1511010295
M.
MAHFUDZ NASIR : 1511010297
MUHAMMAD
HAFIZ : 1511010309
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS TARBIYAH
DAN KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM
NEGERI RADEN INTAN LAMPUNG 2015/2016
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi
Allah SWT yang telah memberikan nikmat serta hidayah-Nya terutama nikmat
kesempatan dan kesehatan sehingga penulisan makalah ini dapat selesai tepat
pada waktunya. Pembuatan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas
pada mata kuliah "Al
quran Hadist". Shalawat teriring salam kami
haturkan kepada Nabi Allah, Muhammad SAW, kepada keluarga,
sahabat, dan para pengikut beliau yang setia sampai akhir zaman, semoga kita
semua mendapat safa’at beliau di yaumul qiamah kelak. Aamiin ya robbal ‘alamin.
Selanjutnya kami ucapkan terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada dosen pembimbing. dan kepada segenap pihak
yang telah memberikan bimbingan serta arahan selama penulis makalah ini.
Dalam penulisan makalah ini kami
sadari bahwa masih banyak terdapat kekurangan dalam
penulisannya, maka dari itu kami mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif
dari para pembaca demi kesempurnaan
makalah ini.
Bandar Lampung, 14
Maret 2016
Tim Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN
JUDUL................................................................................... i
KATA
PENGANTAR................................................................................ ii
DAFTAR
ISI................................................................................................ iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang................................................................................... 1
B. Rumusan
Masalah............................................................................... 2
C. Tujuan................................................................................................. 2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Al-qur’an dan Hadist........................................................ 3
1. Pengertian Al-Qur’an..................................................................... 3
2. Pengertian Hadist........................................................................... 5
B. Sejarah singkat pengumpulan Al-qur’an
dan Hadist.......................... 7
1. Sejarah singkat Al-Qur’an.............................................................. 7
2. Sejarah singkat Hadist.................................................................... 10
C. Mengetahui keotentikan Hadist......................................................... 12
D. Fungsi
Hadist terhadap Al-qur’an...................................................... 15
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan......................................................................................... 18
DAFTAR
PUSTAKA.................................................................................. 19
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia dalam hidupnya membutuhkan berbagai
macam pengetahuan. Sumber dari pengetahuan tersebut ada dua macam yaitu naqli
dan aqli. Sumber yang bersifat naqli ini merupakan pilar dari sebagian besar
ilmu pengetahuan yang dibutuhkan oleh manusia baik dalam agamanya secara
khusus, maupun masalah dunia pada umumnya. Sumber yang sangat otentik bagi umat
Islam dalam hal ini adalah Al-Qur’an dan Hadits Rasulullah SAW.
Allah
telah menganugerahkan kepada para pendahulu yang selalu menjaga Al-Qur‘an dan
hadits Nabi SAW. Mereka adalah orang-orang jujur, amanah, dan memegang janji.
Sebagian diantara mereka mencurahkan perhatiannya terhadap Al-Qur’an dan
ilmunya yaitu para mufassir, dan sebagian lagi memprioritaskan perhatiannya
untuk menjaga hadits Nabi dan ilmunya, mereka para ahli hadits.
Dalam rangka studi Al-Qur’an dan Hadist yang mulia ini
diperlukan upaya yang tidak mudah. Para guru besar serta ulama terkenal telah
banyak menyita waktu dan pikirannya untuk mendalami wahyu dan mukjizatyang diturunkan oleh Allah SWT. Sehingga mereka telah banyak
meninggalkan khazanah ilmu pengetahuan yang luar biasa banyaknya, bahkan
melimpah ruah dan tidak akan habis sepanjang masa.
Namun,
sekalipun seluruh tenaga untuk mendalami Al-Qur’an dan Hadist telah dicurahkan,
mereka tetap saja masih kekurangan waktu karena begitu luasnya ilmu pengetahuan
yang terkandung dalam Al-qur’an dan Hadist itu. Itulah sebabnya, diperlukan
penyelam yang terjun kedalamnyaagar dapat mengambil mutiara dan Permata
Al-Qur’an dan Hadist dari dasarnya.
Hal
itu karena Al-Quran dan Hadist merupakan wahyu Allah dan mukjizat yang dapat
menjadi pedoman hidup manusia. Manusia yang ingin hidup bahagia di dunia dan
akhirat harus memahami serta mengamalkan Al-Quran dan Hadist.
B. Rumusan Masalah
Dalam makalah ini akan dibicarakan beberapa
permasalahan, sebagai berikut:
1. Apa pengertian
Al-qur’an dan Hadist ?
2. Jelaskan sejarah singkat pengumpulan Al-qur’an dan
Hadist ?
3. Bagaimana mengetahui keotentikan Hadist ?
4. Jelaskan fungsi
Hadist terhadap Al-Qur’an ?
C.
Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah
untuk melengkapi salah satu tugas mata kuliah Ilmu Pendidikan Umum/Islam yang
ada di IAIN Raden Intan Lampung, selain itu
penulisan makalah ini juga bertujuan untuk:
1. Pengertian
Al-qur’an dan Hadist.
2. Sejarah singkat pengumpulan Al-qur’an dan Hadist.
3. Mengetahui keotentikan Hadist.
4. Fungsi Hadist terhadap
Al-qur’an.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Al-Qur’an
dan Hadist
1. Pengertian
Al-Qur’an
a.Secara etimologi (bahasa)
Para ulama
berbeda pendapat dalam menjelaskan kata Al-Quran dari sisi derivasi (isytiqaq),
cara melafalkan (apakah memakai hamzah atau tidak), dan apakah ia
merupakan kata sifat atau kata jadian. Para ulama yang mengatakan bahwa cara melafalkannya menggunakan hamzah
pun telah terpecah dalam dua pendapat :
1.
Sebagian dari mereka, di antaranya Al-Lihyani,
berkata bahwa kata Al-Quran merupakan kata jadian dari kata dasar qara'a
(membaca)yKata ini kemudian dijadikan sebagai nama bagi firman Allah yang diturunkan
kepada Nabi kita, Muhammad SAW. Mereka merujuk firman Allah [1]:
إِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهُۥ وَقُرْءَانَهُۥ (١٧) فَإِذَا
قَرَأْنَٰهُ فَٱتَّبِعْ قُرْءَانَهُۥ (١٨)
Artinya:"Sesungguhnya alas tanggungan Kami-lah
mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami
telah selesai membacakannya niaka ikutilah bacaannya itu. "
(Q.S. Al-Qiyamah: 17-18)
2.
Sebagian dari mereka, di antaranya Az-Zujaj,
menjelaskan bahwa kata Al-Quran merupakan kata sifat, diambil dari kataal-qar
yang artinya menghimpun surat, ayat, kisah, perintah, dan larangan, atau
menghimpun intisari kita-kitab suci sebelumnya.
Para
ulama yang mengatakan bahwa cara melafalkan kata Al-Qur’an tidak menggunakan hamzah
pun terpecah menjadi dua kelompok :
1. Sebagian dari mereka, di antaranya adalah AI-Asy'ari, mengatakan bahwa kata
Al-Quran diambil dari kata kerja "qarana"(menyertakan) karena Al-Quran menyertakan surat, ayat, dan huruf-huruf.[2]
2. Al-Farra' menjelaskan bahwa kata "Al-Quran" diambil dari kata
dasar "qara'in" (penguat) karena Al-Quran terdiri dari
ayat-ayat yang saling menguatkan, dan terdapat kemiripan antara satu ayat dan
ayat-ayat lainnya.
Pendapat lain bahwa Al-Quran
sudah merupakan sebuah nama personal (al- 'alam asy-syakhsyl), bukan
merupakan derivasi, bagi kitab yang telah diturunkan kepada Muhammad SAW. Para
ulama telah menjelaskan bahwa penamaan itu menunjukkan bahwa Al-Quran telah
menghimpun intisari kitab-kitab Allah yang lain, bahkan seluruh ilmu yang ada. Hal itu
sebagaimana telah diisyaratkan oleh firman Allah pada surat Al-An'am : 38
وَمَا مِنْ
دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا طَائِرٍ يَطِيرُ بِجَنَاحَيْهِ إِلَّا أُمَمٌ
أَمْثَالُكُمْ ۚ مَا فَرَّطْنَا فِي الْكِتَابِ مِنْ شَيْءٍ ۚ ثُمَّ إِلَىٰ
رَبِّهِمْ يُحْشَرُونَ
Artinya:
Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi
dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat (juga)
seperti kamu. Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab, kemudian kepada
Tuhanlah mereka dihimpunkan.
b. Pengertian
Terminologi (Istilah)
1.
Menurut Manna' Al-Qaththan
Kitab Allah yang diturunkan kepada nabi
Muhammad SAW, dan yang membacanya memperoleh pahala.
2.
Menurut Al-Jurjani
Yang diturunkan kepada Rasullah SAW, yang
ditulis didalam mushaf dan yang diriwayatkan tanpa keraguan
3.
Menurut Fuqaha
Kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi-Nya, Muhammad,
lafazh-lafazhnya mengandung mukjizat, membacanya mempunyai nilai ibadah, dan
ditulis pada mushaf, mulai dari awal surat Al-Fatihah [1] sampai akhir surat
An-N as [114].
2. Pengertian
Hadist
a.
Pengertian
Hadis Secara Etimologi
Ibn Manzhur, kata hadis berasal dari bahasa arab yaitu al-hadits
jamaknya al-ahadits dan al hudtsan. Secara etimologi kata ini
memiliki banyak arti diantaranya al-jadid (yang baru) lawan dari
al-qadim (yang lama) ,dan al-khabar, yang berarti kabar atau berita.[3]
Di samping pengertian tersebut, M.M. Azami mendefinisikan bahwa
kata hadits (arab:al-hadits) secara etimologi (lughawiyyah)
berarti komunikasi, kisah, percakapan, religius, atau sekular, histori atau
kontemporer.[4]
Dalam Al-Qur’an kata hadis di sebutkan 23 kali.
b.
Pengertian
Hadis Secara Terminologi
Secara terminologi baik muhadisin,fuqoha, ulama ataupun ulama
ushul, merumuskan pengertian hadis secara berbeda-beda. perbedaan pandangan
tersebut di sebabkan oleh terbatas dan luasnya objek tinjauan masing-masing
yang tentu saja mengandun kecenderungan pada aliran ilmu yang di dalaminya.[5]
Ulama hadis mendefinisikan hadist sebagai “segala sesuatu yang di
beritakan kepada Nabi SAW, baik berupa sabda, perbuatan, taqrir, sifat-sifat
maupun hal ikhwal Nabi”.
Menurut istilah ulama ahli ushul fiqih, pengertian hadist adalah
segala sesuatu yang di sandarkan kepada Habi SAW, selain Al-Qur’an Al-Karim,
baik berupa perkataan, perbuatan, maupun taqrir nabi yang bersangkut paut
dengan hokum. Adapun menurut istilah para fuqoha hadis adalah segala sesuatu
yang di tetapkan nabi SAW. yang tidak bersangkut paut dengan masalah-masalah
fardhu atau wajib.[6]
Perbedaan pandangan tersebut kemudian melahirkan dua macam
pengertian hadist, yakni pengertian secara terbatas dan pengertian luas.
pengertian hadis secara terbatas sebagaimana di kemukakan oleh jumhur
Al-Muhadtsin adalah sesuatu yang di nisbathkasn kepada nabi SAW baik berupa
perkataan, perbuatan, pernyataan (taqrir) dan sebagainya dengan demikian
menurut ulama hadis , esensi hadis adalah segala berita yang berkenaan dengan
sabda, perbuatan, taqrir dan hal ikhwal nabi muhammad SAW.
Adapun pengertian hadist secara luas sebagai mana di katakan Muhammad mahfudz
At-Tirmidzi adalah, Sesungguhnya hadist bukan hanya yang di marfu’kan kepada
nabi Muhammad SAW, melainkan dapat pula di sebutkan pada yang mauquf dan
maqtu’.
Hal ini jelas bahwa para ulama beragam dalam mendefinisikan hadist karena
mereka berbeda dalam meninjau objek hadist itu sendiri. dalam khazanah ilmu
hadist istilah hadist sering di sebut juga dengan istilah sunah ,khabar,dan
atsar.Secara struktur hadis memiliki tiga komponen yakni sanad (rantai
penutur), matan (redaksi hadis), mukharij (rawi).
B.
Sejarah singkat
pengumpulan Al-qur’an dan Hadist
1.
Sejarah singkat pengumpulan Al-Qur’an
Al-Quran diturunkan dalam waktu 22 tahun 2 bulan 22
hari mulai dari malam 17 Ramadhan tahun 41dari kelahiran Nabi sampai 9
Dzulhijjah Haji Wada' tahun 63dari kelahiran Nabi atau tahun 10 H.[7]
a.
Proses turunnya Al-Quran kepada Nabi Muhammad SAW. Ini melalui
tiga tahapan, yaitu:
1.
Al-Qur’an turun sekaligus dari Allah ke Lauh al Mahfuzh
2.
Al-Qur’an di turunkan dari Lauh al Mahfuzh ke Bait Al-Izzah
3.
Al-Qur’an di turunkan dari Bait Al-Izzah ke hati Nabi Muhammad
berangsur-angsur melalui malaikat jibril
b. Proses pengumpulan Al-Qur’an
1.
Proses penghapalan Al-Qur’an
Kedatangan
wahyu merupakan sesuatu yang dirindukan Nabi. Oleh karena itu, ketika datang
wahyu.Nabi langsungmenghapal dan memahaminya. Dengan demikian Nabi adalah orang
pertama yang menghapal Al-Quran. Tindakan Nabi merupakan suri teladan bagi para
sahabatnya.
Imam Al-Bukhari
mencatat sekitar tujuh orang sahabat Nabi yang terkenal dengan hapalan
Al-Qurannya, 'Abdullah bin Mas'ud, Salim bin Mi'qal (maula'-nya Abu
Hudzaifah), Mu'adz bin Jabal, Ubay bin Ka'ab, Zaid bin Tsabit, Abu Zaid bin
As-Sakan, danAbu-Darda'.
2.
Proses penulisan Al-Qur’an
a.
Pada masa Nabi
Kerinduan Nabi
terhadap wahyu diekspresikan dalam bentuk hapalan saja tetapi dalam bentuk
tulisan.
Nabi memiliki
sekretaris pribadi yang khusus mencatat wahyu, yaitu Abu Bakar, 'Umar, 'Utsman,
'AH, Abban bin Sa'id, Khalid bin Al-Wa!id, dan Mu'awiyah bin Abi Sufyan.
Ptoses penulisan
Al-Quran pada masa Nabi sungguh sangat sederhana. Mereka menggunakan alat tulis
sederhana dan berupa lontaran kayu, pelepah korma, tulang belulang, dan batu.
Kegiatannya itu didasarkan hadistNabi SAW sebagaimana yang diriwayatkan oleh
Muslim yang berbunyi:
"Janganlah kamu menulis sesuatu yang
berasal dariku, kecuali Al-Quran, Barang siapa telah menulis dariku selain
Al-Quran, hendak-lah ia menghapusnya." (HR.Muslim)
b.
Pada Masa Abu Bakar
Kaum muslimin
melakukan konsensus untuk mengangkat Abu Bakar al-Shiddiq sebagai khalifah
sepeninggal Nabi Saw. Pada awal pemerintahan Abu Bakar, terjadi kekacauan
akibat ulah Musailamah al-Kazzab beserta pengikut-pengikutnya. Mereka menolak
membayar zakat dan murtad dari Islam. Pasukan Islam yang dipimpin Khalid bin
al-Walid segera menumpas gerakan itu. Peristiwa tersebut terjadi di Yamamah
tahun 12 H. Akibatnya, banyak sahabat yang gugur, termasuk 70 orang yang
diyakini telah hafal al-Qur’an.
Setelah
syahidnya 70 huffazh, sahabat Umar ibn Khattab meminta kepada khalifah Abu
Bakar, agar al-Qur’an segera dikumpulkan dalam satu mushaf. Dikhawatirkan
al-Qur’an itu secara berangsur-angsur hilang, seandainya al-Qur’an itu hanya
dihafal saja, karena para penghafalnya semakin berkurang.
Semula khalifah
Abu Bakar itu ragu-ragu untuk mengumpulkan
dan membukukan ayat-ayat al-Qur’an, karena hal itu tidak pernah
dilakukan oleh Nabi Saw. Tapi setelah beliau shalat istikharah, kemudian beliau
mendapat kesesuaian pendapat dengan usul sahabat Umar bin Khattab.
Pada waktu
munaqasyah antara khalifah Abu Bakar dengan sahabat Umar diundang pula penulis
wahyu pada zaman Rasul yang paling ahli yaitu Zaid bin Tsabit. Kemudian ia
menyetujui pula akan gagasan itu. lalu dibentuklah sebuah tim yang dipimpin
Zaid bin Tsabit dalam rangka merealisasikan mandat dan tugas suci tersebut.
Pada mulanya, Zaid keberatan, tetapi akhirnya juga dapat diyakinkan.
Abu Bakar
memilih Zaid bin Tsabit, mengingat kedudukannya dalam qira’at, penulisan,
pemahaman, dan kecerdasan serta kehadirannya pada masa pembacaan Rasulullah Saw
yang terakhir kalinya.Zaid bin Tsabit melaksanakan tugas yang berat dan mulia
tersebut dengan sangat hati-hati di bawah petunjuk Abu Bakar dan Umar. Sumber
utama dalam penulisan tersebut adalah ayat-ayat al-Qur’an yang ditulis dan dicatat
di hadapan Nabi Saw dan hafalan para sahabat.[14] Di samping itu, untuk lebih
hati-hati, catatan-catatan dan tulisan al-Qur’an tersebut baru benar-benar
diakui berasal dari Nabi Saw bila disaksikan oleh dua orang saksi yang adil.
c.
Pada masa Usman bin Affan
Pada masa
pemerintahan Utsman, wilayah negara Islam telah meluas sampai ke Tripoli Barat,
Armenia dan Azarbaijan. Pada waktu itu, Islam sudah tersebar ke beberapa
wilayah di Afrika, Syiria dan Persia. Para penghafal al-Qur’an pun akhirnya
menjadi tersebar, sehingga menimbulkan persoalan baru, yaitu silang pendapat di
kalangan kaum muslimin mengenai bacaan (qira’at) al-Qur’an.
Para pemeluk
Islam di masing-masing daerah mempelajari dan menerima bacaan al-Qur’an dari
sahabat ahli qira’at di daerah yang bersangkutan. Penduduk Syam misalnya,
belajar al-Qur’an pada Ubay bin Ka’ab. Warga Kufah berguru pada Abdullah bin
Mas’ud sementara penduduk yang tinggal di Basrah berguru dan membaca al-Qur’an
dengan qira’at Abu Musa al-Asy’ari.
Versi qira’at
yang dimiliki dan diajarkan oleh masing-masing ahli qira’at satu sama lain
berlainan. Hal ini rupanya menimbulkan dampak negatif di kalangan umat Islam
waktu itu. Masing-masing saling membanggakan versi qira’at mereka dan saling
mengakui bahwa versi qira’at mereka yang paling baik dan benar.
Melihat
kenyataan yang memprihatinkan ini Utsman segera mengundang para sahabat dari
Anshar dan Muhajirin bermusyawarah mencari jalan keluar dari masalah serius
tersebut. Akhirnya dicapai suatu kesepakatan agar mushaf Abu Bakar disalin
kembali menjadi beberapa mushaf. Mushaf-mushaf itu nantinya dikirim ke berbagai
kota atau daerah untuk dijadikan rujukan bagi kaum muslimin terutama manakala
terjadi perselisihan qira’at al-Qur’an antar mereka.
Untuk
terlaksananya tugas tersebut, khalifah Utsman menunjuk satu tim yang terdiri
dari empat orang sahabat, yaitu Zaid bin Tsabit, Abdullah ibn Zubair, Sa’id ibn
al-‘As dan Abdurrahman ibn al-Haris ibn Hisyam. Keempat orang ini adalah para
penulis wahyu. Tim ini bertugas menyalin mushaf al-Qur’an yang tersimpan di
rumah Hafsah, karena dipandang sebagai mushaf standar.
Hasil kerja tim
tersebut berjudul empat mushaf al-Qur’an standar. Tiga diantaranya dikirim ke
Syam, Kufah, dan Basrah dan satu mushaf ditinggalkan di Madinah untuk Utsman
sendiri yang nantinya dikenal sebagai al-Mushaf al-Imam.
Adapun mushaf
yang semula dari Hafsah dikembalikan lagi kepadanya. Ada juga riwayat yang
mengatakan jumlah pengadaan mushaf
sebanyak 5 buah, ada lagi yang menyebut 7 buah dan dikirim selain tiga
tempat di atas ke Mekkah, Yaman, dan Bahrain. Agar persoalan silang pendapat
mengenai bacaan al-Qur’an dapat diselesaikan secara tuntas, Utsman
memerintahkan semua mushaf al-Qur’an yang berbeda dengan hasil kerja “panitia
empat” ini segera dibakar.
Upaya
kodifikasi al-Hadits secara resmi baru dilakukan pada masa pemerintahan Umar
bin Abd. Al-Aziz khalifah BaniUmayyah yang memerintahtahun 99-101 Hijriyah,
waktu yang relatif jauh dari masa
Rasulullah saw. Kenyataan ini telah memicu berbagai spekulasi berkaitan
denganotentisitas al-Hadits.
Proses
kodifikasi hadits atau Tadwiin Al-Hadits yang dimaksudkan
adalah proses pembukuan hadits secara resmi yang dilakukan atas instruksi
Khalifah, dalam hal ini adalah Khalifah Umar bin Abd al-Aziz (memerintahtahun
99-101 H). Beliau merasakan adanya kebutuhan yang mendesak untuk memelihara
perbendaraan sunnah. Untuk itulah beliau mengeluarkan surat perintah
keseluruh wilayah kekuasaannya agar setiap orang yang hafal Hadits menuliskan
dan membukukannya supaya tidak ada Hadits yang akan hilang pada masa
sesudahnya.
Al-Bukhari
meriwayatkan bahwa Umar bin Abd al-Aziz mengirim surat kepada Abu Bakar bin
Muhammad bin Hazm sebagai berikut: Perhatikanlah apa yang ada pada
hadits-hadits Rasulullah saw, dan tulislah, karena aku khawatir akan
terhapusnya ilmu sejalan dengan hilangnya ulama, dan janganlah engkau terima
selain hadits Nabi SAW.[8].
Khalifah
menginstruksikan kepada Abu Bakar bin Muhammad bin Hazm (w. 117 H) untuk
mengumpulkan hadits-hadits yang ada pada Amrah bint iAbd al-Rahman bin Saâd bin
Zaharah al- Anshariyah (21- 98 H) dan al-Qasim bin Muhammad bin AbiBakr
al-Shiddiq.Pengumpulan al-Hadits khususnya di Madinah ini belum sempat
dilakukan secara lengkap oleh Abu Bakar bin Muhammad bin Hazm dan akhirnya
usaha ini diteruskan oleh Imam Muhammad bin Muslim bin Syihab al-Zuhri (w. 124)
yang terkenal dengan sebutan Ibnu Syihab al-Zuhri. Beliaulah sarjana Hadits
yang paling menonjol di jamannya.
Atas dasar ini
Umar bin Abd al-Aziz pun memerintahkan kepada anak buahnya untuk menemui
beliau. Dari sini jelaslah bahwa Tadwin al-Hadits bukanlah semata-mata taktib
al-Hadits (penulisan al-Hadits).Tadwin al-Hadits atau kodifikasi al-Hadits
merupakan kegiatan pengumpulan al-Hadits dan penulisannya secara besar-besaran
yang disponsori oleh pemerintah (khalifah). Sedangkan kegiatan penulisan
al-Hadits sendiri secara tidak resmi telah berlangsung sejak masa Rasulullah
saw masih hidup dan berlanjut terus hingga masa kodifikasi.[9]
C. Mengetahui keotentikan Hadist
1. Periwayatan Hadist
Menurut istilah
ilmu hadis, yang dimaksud dengan al-riwayat atau periwayatan hadis ialah
kegiatan penerimaan dan penyampaian hadist,
serta penyandaran hadis itu kepada rangkaian para periwayat nya dengan
bentuk-bentuk tertentu. Seseorang tidak berhak meriwayatkan hadis tersebut
apabila menghilangkan kata-kata atau menambah kan atau kata-katanya sendiri,
sehingga tereproduksilah hadist-hadist yang hanya sesuai dengan pemahamannya
sendiri mengenai hadis-hadis tersebut[10]
Orang yang
telah menerima hadis dari seorang periwayat , tetapi dia tidak menyampaikan
hadis itu kepada orang lain , maka dia tidak dapat disebut sebagai orang yang
telah melakukan periwayatan hadis. “Sekiranya orang tersebut menyampaikan hadis
yang telah diterimanya kepada orang lain, Tetapi ketika menyampaikan hadis itu
dia tidak menyebutkan rangkaian periwayatnya,
maka orang tersebut tidak dapat dinyatakan sebagai orang yang telah
melakukan periwayatan hadis”[11]
Dan adapula
pendapat lain tentang pengertian periwayatan hadist namun mempunyai makna yang
sama, yaitu adapun yang dimaksud Periwayatan hadits adalah proses penerimaan
(naql dan tahammul) hadits oleh seorang rawi dari gurunya dan setelah dipahami,
dihafalkan, dihayati, diamalkan, ditulis di-tadwin (tahrir), dan disampaikan
kepada orang lain sebagai murid (ada’) dengan menyebutkan sumber pemberitaan
riwayat tersebut[12]
2.
Periwayatan Hadis Secara Makna
Membicarakan
matan hadist harus bertolak dari sejarah. Pada zaman Nabi tidak seluruh hadis
ditulis oleh parasahabat nabi. Hadis nabi disampaikan oleh sahabat kepada
periwayat lain lebih banyak berlangsung secara lisan. Hadis nabi yang
dimungkinkan diriwayatkan secara lafal oleh sahabat sebagai pertama hanyalah
hadis yang dalam bentuk sabda. Sedang hadis yang tidak dalam bentuk sabdahanya
di mungkinkan dapat diriwayatkan secara makna[13]
Periwayatan
hadis yang dilakukan secara makna, adalah penyebab terjadinya perbedaan
kandungan atau redaksi matan dari suatu hadis. Adapun Sahabat yang
membolehkan periwayatan hadis secara makna adalah:
a.
‘Abd
Allah ibn Mas’ut
Dalam meriwatkan hadis beliau menggunakan
kata-kata” Bersabda Rasulullah SAW begini, atau seperti itu, atau mendekati
pengertian ini.
b.
‘Aisyah r.a.
Dalam periwayatan hadis dengan redaksi yang
berbeda, namun maknanya sama tidak mengapa yaitu boleh dilakukan
Dikalangan
tabi’in dan ulama yang membolehkan periwayatan hadis secara makna adalah Al-Hasan al-bashri, Ibrahim al-Nakha’i, dn
‘Amir al-Sya’bi.
3.
Takhrij
Pengertian takhrij hadits, takhrij menurut lughat berasal
dari kata khoroja yang berarti
tampak atau jelas. takhrij secara bahasa berarti juga berkumpulnya dua perkara
yang saling berlawanan dalam satu persoalan, namun secara mutlak, ia diartikan
oleh para ahli bahasa dengan arti ‘mengeluarkan’ (al-istinbath), melatih
atau membiasakan (at-tadrib) dan menghadapkan (at-taujih).
Takhrij menurut istilah adalah penunjukan terhadap tempat hadis
didalam sumber aslinya yang di jelaskan sanad dan martabatnya sesuai
keperluan.Takhrij dapat di jelaskan sebagai berikut:
a.
Mengemukakan
hadis pada orang banyak dengan menyebutkan perawinya yang ada dalam sanad hadis
itu.
b.
Mengemukakan asal-usul hadis sambil di
jelaskan sumber pengambilanya dari berbagai kitab hadits, yang rangkaian
sanadnya berdasarkan riwayat yang telah diterimanya sendiri, atau berdasarkan
rangkaian sanad gurunya, dan yang lainya.
c.
Mengemukakan
hadis-hadis berdasarkan sumber pengambilanya dari kitab kitab yang di dalamnya
dijelaskan metode periwayatan dan sanad hadis tersebut, dengan metode dan
kualitas para rawi sekaligus hadisnya, dengan demikian pentakhrijan hadis penelusuran dan pencarian hadis dalam
berbagai kitab hadis (sebagai sumber asli dari hadis yang bersangkutan), baik
menyangkut materi atau isi (matan), maupun jalur periwayatanya (sanad) hadis
yang dikemukakan.
Takhrij hadis bertujuan mengetahui sumber asal hadis yang di
takhrij. tujuan lainya adalah mengetahui ditolak atau diterimanya hadis
tersebut. dengan ini kita dapat mengetahui hadis yang pengutipanya
memperhatikan kaidah ulumul hadis yang berlaku sehingga hadis tersebut menjadi
jelas, baik asal-usul maupun kualitasnya.
D.
Fungsi Hadits Terhadap
Al-Qur’an
Al-qur’an dan
hadits sebagai pedoman hidup, sumber hukum dan ajaran dalam islam, antara satu
dengan yang lainnya. Keduanya merupakan satu kesatuan. Al-qur’an sebagai sumber
pertama dan utama banyak memuat ajaran-ajaran yang bersifat umum dan global.
Oleh karena itu
kehadiran hadits, sebagai sumber ajaran kedua tampil untuk menjelaskan (bayan)
keumumanisi al-qur’antersebut.Hal tersebut sesuai dengan firman Alloh SWT:
“Dan kami turunkan kepadamu Al-Qur’an agar kamu
menerangkan kepada umat manusia apa yang di turunkan kepada mereka dan supaya
mereka berfikir.” (QS. AN-Nahl(16):44)
Fungsi hadits Rosul sebagai penjelas (bayan)
Al-Qur’an itu bermacam-macam.Berikut pembahasannya satu-persatu :
1.
Bayan at-Taqrir
Di sebut juga dengan bayan at-ta’kid dan bayan
al-itsbat Yang dimaksud dengan bayan inii adalah menetapkan dan memperkuat apa
yang telah di terangkan di dalam Al-Qur’an. Fungsi hadits dalam hal ini hanya
memperkokoh isi kandungan Al-Qur’an.Suatu contoh hadits yang diriwayatkan Muslim
dari Ibnu Umar, yang berbunyi;
(فإذا
رأيتم الهلا ل فصوموا وإذا رأيتموه
فأفطروا (رواه مسلم
”Apabila kalian
melihat (ru’yah) bulan, mka berpuasalah , juga apabila melihat (ru’yah) itu
maka berbukalah” . (HR.Muslim)
Hadits ini men
taqrirayat Al-Qur’an di bawah ini;
فمن شهد منكم
الشّهر فليصمه
Maka barang
siapa yang mempersaksikan pada waktu itu bulan, hendaklah ia berpuasa... (QS.
AL-Baqarah(2): 185)
2.
Bayan al-Tafsir
Adalah
kehadiran hadits yang berfungsi untuk memberikan rincian dan tafsiran terhadap ayat-ayat
Al-qur-an yang masih bersifat global (mujmal) , memberikan persyaratan /batasan
ayat-ayat Al-qur’an yang bersifat mutlak , dan mengkhususkan terhadap ayat-ayat
Al-qur’an yang masih bersifat umum.
Ayat-ayat
Al-qur’an tentang masalah ini masih bersifat mujmal, baik mengenai cara
mengerjakan, syarat-syarat, sebab-sebabnya, atau halangan-halangannya. Oleh
karena itu, Rasululloh SAW, melalui haditsnya menafsirkan dan menjelaskan
masalah-masalah tersebut.contoh haditsnya;
(صلّوا كما رأيتموني أصلّي (رواه
البخارى
‘Sholatlah
sebagaimana engkau melihat aku sholat” .( HR. Bukhori)
Hadits
menjelaskan bagaimana mendirikan sholat. Sebab Al-qur’an tidak menjelaskan
secara rinci. salah satu ayat yang memerintahkan sholat adalah:
وأقيمواالصّلاة
واتو الزّكاة واركعو مع الرّاكعين
“Dan
kerjakanlah sholat, tunaikan zakat, dan ruku’lah beserta orang-orang yang
ruku’. (QS.Al-Baqarah (2): 43)
Sedangkan
contoh hadits yang membatasi ayat-ayat Al-qur’an yang bersifat mutlak seperti:
أوتي رسول الله
صلى الله عليه وسلّم بسارق فقطع يده من مفصل الكهفّ
Rasululloh SAW.
didatangi seseorang dengan membawa pencuri , maka beliau memotong tangan
pencuri dari pergelangan tangan”
Hadits ini men-taqyid/ membatasi QS.
Al-Maidah (5) :38 yang berbunyi:
والسارق
والسارقة فا قطعوا أيديهما جزاء بما كسبا نكالا من الله والله عزيز حكيم
“Laki-laki yang
mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagian)
pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan siksadariAlloh SWT.
3.
Bayan Tasyri’
Yang di maksud
dengan bayan tasyri’ adalah mewujudkan suatu hukum atau ajaran-ajaran yang
tidak di dapati dalam Al-Qur’an hanya terdapat pokok-pokoknya saja.
Hadits-hadits Rasululloh yang termasuk dalam kelompok ini di antaranya hadits
tentang penetapan haramnya mengumpulkan dua orang wanita bersaudara , hukum
merajam pezina wanita yang masih perawan, dan hukum tentang hak waris bagi
seorang anak
BABIII
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Pengertian Al-Qur’an secara etimologi (bahasa) adalah Sebagian dari mereka, di antaranya Al-Lihyani, berkata
bahwa kata Al-Quran merupakan kata jadian dari kata dasar qara'a (membaca)yKata
ini kemudian dijadikan sebagai nama bagi firman Allah yang diturunkan kepada
Nabi kita, Muhammad SAW
Pengertian
Hadis Secara Etimologi adalah Ibn
Manzhur, kata hadis berasal dari bahasa arab yaitu al-hadits jamaknya al-ahadits
dan al hudtsan. Secara etimologi kata ini memiliki banyak arti
diantaranya al-jadid (yang baru)
lawan dari al-qadim (yang
lama) ,dan al-khabar, yang
berarti kabar atau berita
Al-qur’an dan hadits sebagai pedoman hidup,
sumber hukum dan ajaran dalam islam, antara satu dengan yang lainnya. Keduanya
merupakan satu kesatuan. Al-qur’an sebagai sumber pertama dan utama banyak
memuat ajaran-ajaran yang bersifat umum dan global.Oleh karena itu kehadiran
hadits, sebagai sumber ajaran kedua tampil untuk menjelaskan (bayan)
keumumanisi al-qur’antersebut
Fungsinya
adalah
1.
Bayan at-Taqrir
2.
Bayan al-Tafsir
3.
Bayan Tasyri’
DAFTAR PUSTAKA
Agus
Solahudin, Agus Suyadi, 2008, Ulumul Hadist, Bandung : CV. Pustaka.
Anwar Rosihon. Ululmul Qur’an.Bandung.2000.Pustaka
setia.
Azami,
Muhammad Musthafa, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya (terjemahan
Ali Mustafa Yaqub),
PustakaFirdaus, Jakarta, 1994
G. H. A
.Juynboll, 1999Kontroversi Hadis di Mesir .Cet. 1; Bandung: MizanAnggota
IKAPI.
[1]Anwar
Rosihon.Ululmul Qur’an. 2000. Hlm.29-30
[3]
Muhammad Ibn Mukaram Ibn Manzhur.lisan al-arab.juz II.1992.hlmn.131
[4]
M.M.Azami.Studies in Hadis methedology and Literature. Trj.Meth
Kieraha.jakarta:Lentera.2003.hlmn.21-23
[5]
Endang Soetari.Ilmu Hadis:Kajian riwayah dan Diniyah.Bandung:Mimbar
Pustaka.2005.hlmn.2
[6]
Muhammad Ajaj Al_Khattib.As-Sunah Qobla At-Tadwin,Kairo:Maktabah
Wahbah.1975.hlm.19
[8]Shahih al-Bukhari, Juz I. hal
[9]Azami, Muhammad Musthafa., HadisNabawidanSejarahKodifikasinya
(terjemahan Ali Mustafa Yaqub), PustakaFirdaus, Jakarta, 1994
[10] G.
H. A .Juynboll, KontroversiHadis di Mesir(Cet. 1; Bandung: MizanAnggota
IKAPI, 1999), h. 167.
[11]
Prof. Dr. H. M. Syuhudi Ismail, KaedahKesahihanHadis( Cet. 2; Jakarta:
PT BulanBintang, 1995), h. 23.
[12] Drs.
Sa’dullahAssa’idi, MA, Hadis-HadisSekte, (Cet. I; Yogyakarta
:PustakaPelajar, 1996), h. 37.
[13] Dr.
Rajab, M. Ag, KaidahKesahihanMatanHadis(Cet. I; Yogyakarta :Grha Guru,
2011), h. 43.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar