TUGAS MANUSIA
SEBAGAI KHALIFAH ALLAH SWT
DI BUMI
Disusun guna memenuhi Ujian Akhir Smester
Mata Kuliah : Al-Qur’an
Hadist
Dosen
Pembimbing : Dra. Urwati HN, M.Pd.I
DISUSUN
OLEH :
Nama
:M. Mahfudz Nasir
NPM :
1511010297
Fak/Jur/Smeter :
Tarbiah/PAI/II
Kelas
: F
JURUSAN
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN INSTITUT AGAMA
ISLAM NEGERI RADEN INTAN
LAMPUNG 2015/2016
BAB
I
PEMBAHASAN
A.
Pengertian khalifah
Menurut
bahasa, Khalifah (خليفة Khalīfah) merupakan mashdar dari fi’il
madhi khalafa , yang berarti : menggantikan atau menempati tempatnya.
Sedangkan
dalam pengertian syariah, Khailifah digunakan untuk
menyebut orang yang menggantikan Nabi Muhammad SAW (setelah beliau wafat) dalam
kepemimpinan Negara Islam.Khalifah juga sering disebut sebagai Amīr
al-Mu’minīn (أمير المؤمنين) atau “pemimpin orang yang beriman”
Hanya saja,
para ulama mempunyai sudut pandang yang berbeda-beda mengenai kedudukan
Khalifah. Adanya perbedaan sudut pandang inilah yang menyebabkan ada banyaknya
definisi untuk khalifah (mereka tidak meyepakati satu definisi tertentu untuk
khalifah).
Beberapa
definisi khalifah menurut para ulama:
1.
menurut, Imam Al-Mawardi (w. 450
H/1058 M), Khalifah ditetapkan bagi pengganti kenabian dalam penjagaan agama
dan pengaturan urusan dunia
2.
menurut, Imam Al-Baidhawi (w. 685
H/1286 M), Khalifah adalah pengganti bagi Rasulullah SAW oleh seseorang dari
beberapa orang dalam penegakan hukum-hukum syariah, pemeliharaan hak milik
umat, yang wajib diikuti oleh seluruh umat .
3.
menurut, Imam Al-Juwayni (w. 478
H/1085 M), Khalifah adalah kepemimpinan yang bersifat menyeluruh (riyasah
taammah) sebagai kepemimpinan yang berkaitan dengan urusan khusus dan urusan
umum dalam kepentingan-kepentingan agama dan dunia.
Di dalam
kepemerintahannya, Khalifah berperan sebagai kepala ummat baik urusan Negara
maupun urusan agama. Pengangkatan khalifah dilakukan baik melalui penunjukkan
ataupun melalui majelis Syura’ (majelis Ahlul Ilmi wal Aqdi )
yakni ahli ilmu keagamaan dan mengerti permasalahan ummat.
B.
Tugas Manusia sebagai khalifah Allah SWT di Bumi
di samping manusia berfungsi sebagai
khalifah, juga bertugas untuk mengabdi kepada Allah sebagaimana dalam surat
Az-Zariyatayat 56. Dengan demikian manusia itu mempunyai fungsi ganda,
sebagai khalifah dan sekaligus sebagai ‘abd. Fungsi sebagai khalifah tertuju
kepada pemegang amanah Allah untuk penguasaan, pemanfaatan, pemeliharaan, dan
pelestarian alam raya yang berujung kepada pemakmurannya. Fungsi ‘abd bertuju
kepada penghambaan diri semata-mata hanya kepada Allah. Tugas manusia ini pada dasarnya secara implisit menggambarkan pandangan
Islam yang memandang manusia dengan pandangan yang positif dan konstrukti.[1]
Khalifah
adalah seseorang yang diberi tugas sebagai pelaksana dari tugas-tugas yang
telah ditentukan. Jika manusia sebagai khalifatullah di bumi, maka ia memiliki
tugas-tugas tertentu sesuai dengan tugas-tugas yang telah digariskan oleh Allah
selama manusia itu berada di bumi sebagai khalifatullah. Jika kita menyadari
diri kita sebagai khalifah Allah, sebenarnya tidak ada satu manusia pun di atas
dunia ini yang tidak mempunyai “kedudukan” ataupun “jabatan”. Jabatan-jabatan
lain yang bersifat keduniaan sebenarnya merupakan penjabaran dari jabatan pokok
sebagai khalifatullah. Jika seseorang menyadari bahwa jabatan keduniawiannya
itu merupakan penjabaran dari jabatannya sebagai khalifatullah, maka tidak ada
satu manusia pun yang akan menyelewengkan jabatannya. Sehingga tidak ada satu
manusia pun yang akan melakukan penyimpangan-penyimpangan selama dia menjabat.
Jabatan manusia sebagai khalifah adalah amanat Allah. Jabatan-jabatan duniawi,
misalkan yang diberikan oleh atasan kita, ataupun yang diberikan oleh sesama
manusia, adalah merupakan amanah Allah, karena merupakan penjabaran dari
khalifatullah. Sebagai khalifatullah, manusia harus bertindak sebagaimana Allah
bertindak kepada semua makhluknya.
Pada
dasarnya, semua makhluk Allah di atas bumi ini beribadah menurut kondisinya.
Paling tidak, ibadah mereka itu adalah bertasbih kepada Allah. Disebutkan dalam
Al-Qur’an Surah Al-Baqarah:
Yushabbihu
lillahi ma fissamawati wama fil ardh.
Bebatuan,
pepohonan, gunung, dan sungai misalkan, semuanya beribadah kepada Allah dengan
cara bertasbih. Dalam hal ini, janin yang berada di dalam rahim ibu beribadah
sesuai dengan kondisinya, yaitu dengan cara bertasbih. Ketika Allah akan
meniupkan roh ke dalam janin, maka Allah bertanya dulu kepada janin tersebut.
Allah mengatakan “Aku akan meniupkan roh ke dalam dirimu. Tetapi jawab dahulu
pertanyaan-Ku, baru Aku akan tiupkan roh itu ke dalam dirimu. Apakah engkau
mengakui Aku sebagai Tuhanmu?” Lalu dijawab oleh janin tersebut, “Iya, aku
mengakui Engkau sebagai Tuhanku.”
Dari sejak
awal, ternyata manusia itu sebelum ada rohnya, atau pada saat rohnya akan
ditiupkan, maka Allah menanyakan dahulu apakah si janin mau mengakui-Nya
sebagai Tuhan. Jadi, janin tersebut beribadah menurut kondisinya, yaitu dengan
bertasbih kepada Allah. Tidak ada makhluk Allah satupun yang tidak bertasbih
kepada-Nya Manusia mulai melakukan penyimpangan dan pembangkangan terhadap
Allah yaitu pada saat ia berusia akil baligh hingga akhir hayatnya. Tetapi,
jika kita ingat fungsi kita sebagai khalifatullah, maka takkan ada manusia yang
melakukan penyimpangan. Makna sederhana dari khalifatullah adalah “pengganti
Allah di bumi”. Setiap detik dari kehidupan kita ini harus diarahkan untuk
beribadah kepada Allah, seperti ditegaskan oleh Allah di dalam firman-Nya:
-Adz
Dzariyat 56
1. Makna
Mufrodat
2. Terjemah
“Tidak Aku
ciptakan manusia dan jin kecuali untuk menyembah kepada-Ku.”(Q.S Adz-Dzariat :
56)
3. Ashbabun Nuzul
Ketika para malaikat mengetahui bahwa Allah SWT akan
menciptakan khalifah di muka bumi. Allah SWT menyampaikan perintah-Nya kepada
mereka secara terperinci. Dia memberitahukan bahwa Dia akan menciptakan manusia
dari tanah. Maka ketika Dia menyempurnakannya dan meniupkan roh di dalamnya,
para malaikat harus bersujud kepadanya. Yang harus dipahami bahwa sujud
tersebut adalah sujud penghormatan, bukan sujud ibadah, karena sujud ibadah
hanya diperuntukkan kepada Allah SWT.
4. Tafsir
Menrut Prof.
Dr. Muhammad Quraish Shihab dalam tasirnya, Al-Misbah, penafsiar an
ayat di atas adalah sebagai berikut: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia
untuk satu manfaat yang kembali pada diri-Ku. Aku tidak menciptakan mereka melainkan agar tujuan atau kesudahan aktivitas
meraka adalah beribadah kepada-Ku.
Ayat di atas
menggunakan bentuk persona pertama (Aku), karena memang penekannya adalah
beribadah kepada-Nya semata-mata, maka redaksi yang digunakan berbentuk tunggal
dan tertuju kepada-Nya semata-mata tanpa memberi kesan adanya keterlibatan
selain Allah swt, huruf lam disini sama dengan huruf lam dalam firman Allah
SWT:
“ Maka dipungutlah ia oleh
keluarga Fir'aun yang akibatnya Dia menja- di musuh dan Kesedihan bagi mereka. Sesungguhnya Fir'aun dan Ha- man beserta tentaranya adalah orang-orang yang
bersalah.”
Bila huruf
lam pada liyakuna dipahami dalam arti agar supaya, maka di
atas seperti: maka dipungutlah dia oleh keluarga fir’aun agar supaya dia Musa
yang dipungut itu menjadi musuh dengan kesedihan bagi mereka.
Thabathaba’I
memahami huruf lam pada ayat yang ditafsirkan dalam arti agar
supaya, yakni tujuan penciptaan manusia dan jin adalah untuk beribadah. Ulama
ini menulis bahwa tujuan apapun bentuknya adalah sesuatu yang digunakan oleh
yang bertujuan untuk menyempurnakan apa yang belum sempurna baginya atau
menanggulangi kebutuhan/ kekurangannya. Tentu saja hal ini mustahil bagi Allah SWT, karena dia tidak memiliki
kebutuhan. Dengan demikian tidak ada lagi baginya yang perlu disempurnakan.
Namun disisi lain, suatu perbuatan yang tidak memiliki tujuan adalah perbuatan
sia-sia yang perlu dihindari.
Mengapa, hai Muhammad, kamu diperintahkan untuk memperingatkan umat
manusia? Kamu diperintahkan untuk memperingatkan bahwa jin dan manusia tidak
diciptakan kecuali untuk beribadat kepada-Ku.
Jin dan manusia dijadikan oleh Allah untuk beribadah kepada-Nya. Tegasnya, Allah menjadikan kedua makhluk itu sebagai
makhluk-makhluk yang mau beribadah, diberi akal dan panca indera yang mendorong mereka menyembah Allah, untuk
beribadahlah tujuan mereka diciptakan. Dengan demikian, ibadah yang dimaksud disini
lebih luas jangkauannya daripada ibadah dalam bentuk ritual. Tugas kekahlifahan
termasuk dalam makna ibadah dan dengan demikian hakekat ibadah mencakup dua hal
pokok.
Pertama : kemantapan makna penghambaan
diri kepada Allah dalam hati setiap insan.
Kedua : mengarah kepada Allah dengan
setiap gerak pada nurani, pada setiap anggota badan dan setiap gerak dalam
hidup.
Kalau
begitu, sepanjang hayat kita sebenarnya adalah untuk beribadah kepada Allah.
Dalam pandangan Islam, ibadah itu ada dua macam, yaitu: ibadah primer (ibadah
mahdhah) dan ibadah sekunder (ibadah ghairu mahdhah). Ibadah mahdhah adalah
ibadah yang langsung, sedangkan ibadah ghairu mahdhah adalah ibadah tidak
langsung. Seseorang yang meninggalkan ibadah mahdhah, maka akan diberikan
siksaan oleh Allah. Sedangkan bagi yang melaksanakannya, maka akan langsung
diberikan ganjaran oleh Allah. Ibadah mahdhah antara lain: shalat, puasa,
zakat, dan haji. Sedangkan ibadah ghairu mahdhah adalah semua aktifitas kita
yang bukan merupakan ibadah mahdhah tersebut, antara lain: bekerja, masak,
makan, dan menuntut ilmu.
Mengutip
pendapatnya Musa Asy’arie, menurutnya bahwa tugas seorang khalifah, sebagai
pengganti yang memegang kepemimpinan dan kekuasaan, pada dasarnya mengandung
implikasi moral, karena kepemimpinan dan kekuasaan yang dimiliki seorang
khalifah dapat disalahgunakan untuk kepentingan mengejar kepuasan hawa
nafsunya, atau sebaliknya juga dapat dipakai untuk kepentingan menciptakan
kesejahteraan hidup bersama. Oleh karena itu, kepemimpinan dan kekuasaan
manusia harus tetap diletakan dalam kerangka eksistensi manusia yang bersifat
sementara, sehingga dapat dihindari dari kecenderungan pemutlakan kepemimpinan
atau kekuasaan, yang akibatnya dapat merusak tatanan dan harmoni kehidupan[2]
Hal
itu juga berkaitan dengan Al Qosos ayat
77 yang menerangkan bahwasanya manusia dilarang menimbulkan kerusakan di muka
bumi.
1.Mufrodat
2.
Terjemah
Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu
(kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari
(kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah
telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka)
bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.(Al
Qosos 77)
3. Asbabun Nuzul
Surat Al Qashash
terdiri atas 88 ayat termasuk golongan surat-surat Makkiyyah. Dinamai dengan Al
Qashash, karena pada ayat 25 surat ini terdapat kata Al Qashash yang berarti
cerita. Ayat ini turun karena kesombongan Qarun yang terlampau kikir akan harta
yang ia miliki. Sehingga kaumnya menasihatinya akan tetapi tidak ia hiraukan.
4. Tafsir
Al-a’masy
berkata dari al-Minhal bin ‘Amr dari Sa’id bin Jubair, bahwa Ibnu ‘Abbas
berkata: (“Sesungguhnya Qarun adalah termasuk kaum Musa.”) dia adalah anak
pamannya.
Demikian pula yang dikatakan oleh Ibrahim an-Nakha’i,
‘Abdullah bin al-Harits bin Naufal, Simak bin Harb, Qatadah, Malik bin Dinar,
Ibnu Juraij dan selain mereka, bahwa Qarun adalah anak dari pamannya Musa as.
Ibnu Juraij berkata: “Dia adalah Qarun bin Yash-hab bin Qahits. Dan Musa
[adalah] bin ‘Imraan bin Qahits.” Ibnu Juraij dan kebanyakan ahli ilmu berkata:
“Bahwa Qarun adalah anak dari pamannya Musa.” wallaaHu a’lam.
Firman-Nya:
wa aatainaaHu minal kunuuzi (“dan Kami telah menganugerahkan kepadanya
perbendaharaan.”) yaitu harta benda, maa anna mafaatihaHuu latanuu bil ‘ushbati
ulil quwwati (“Yang kunci-kuncinya sungguh berat dipikul oleh sejumlah orang
yang kuat-kuat.”) yaitu kunci-kunci itu berat sekali karena begitu banyaknya
yang dibawa oleh sejumlah orang.
Al-A’masy
berkata dari Khaitsamah: “Kunci-kunci perbendaharaan Qarun terbuat dari kulit.
Setiap satu kunci seperti satu buah jari dan setiap satu kunci berada di sebuah
kotak penyimpanannya.” Wallaahu a’lam.
Firman-Nya: idz
qaala laHuu qaumuHuu laa tafrah innallaaHa laa yuhibbul farihiin (“ketika
kaumnya berkata kepadanya: ‘Janganlah kamu terlalu bangga, sesungguhnya Allah
tidak menyukai orang-orang yang terlalu membanggakan diri.’”) yaitu orang-orang
shalih dari kaumnya menasehatinya. Maka mereka berkata dengan memberikan
nasehat: “Janganlah engkau terlalu bangga dengan apa yang engkau miliki.” Yang
mereka maksudkan adalah, janganlah engkau sombong dengan harta yang engkau
miliki.
(“sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang terlalu membanggakan diri.”)
ibnu ‘Abbas
berkata: “Yaitu orang-orang yang sombong.” Sedangkan Mujahid berkata: “Yaitu
orang-orang yang sombong dan angkuh, tidak bersyukur kepada Allah atas karunia
yang diberikan-Nya kepada mereka.”
firman-Nya:
(“Dan
carilah dari apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu [kebahagiaan] negeri
akhirat dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari [keselamatan] dunia ini.”)
yaitu gunakanlah apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu berupa harta yang
melimpah dan kenikmatan yang panjang dalam berbuat taat kepada Rabbmu serta
bertaqarrub kepada-Nya dengan berbagai amal-amal yang dapat menghasilkan pahala
di dunia dan di akhirat.
(“janganlah kamu melupakan bagianmu dari
[keselamatan] dunia ini”)
yaitu
apa-apa yang dibolehkan Allah di dalamnya berupa makanan, minuman, pakaian,
tempat tinggal dan pernikahan. Sesungguhnya Rabbmu memiliki hak, dirimu memiliki
hak, keluargamu memiliki hak serta orang yang berziarah kepadamu pun memiliki
hak. Maka berikanlah setiap sesuatu dengan haknya.
(“Dan
berbuat baiklah sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu.”) yaitu
berbuat baiklah kepada makhluk-Nya sebagaimana Dia telah berbuat baik kepadamu.
(“Dan
janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi.”) yaitu janganlah semangatmu
hanya menjadi perusak di muka bumi dan berbuat buruk kepada makhluk Allah.
(“Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”)
Jadi dalam ayat ini dapat di simpulkan bahwa
sanya manusia sebagai khalifah di mukabumi ini mempunyai peran untuk menjaga
bumi, memanfaatkan hasil dari bumi berbuat baik kepada mahluk allah swt yang
lainya dan manusia pun dilarang oleh allah untuk menjadikan kerusakan di bumi
ini.
C. Ayat Tentang Manusia Sebagai
Khalifah
Al Baqoroh Ayat 30
1. Mufrodat
2.
Terjemah
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para
Malaikat: "Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka
bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah)
di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah,
Padahal Kami Senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan
Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak
kamu ketahui." (QS. Al-Baqarah:30)
Mazhab
Khalaf berpendapat bahwasanya apa yang dihikayatkan Tuhan ini niscaya tidak
sebagai yang kita pikirkan. Niscaya pertemuan Allah dengan MalaikatNya itu
tidak terjadi di satu tempat; karena kalau terjadi di satu tempat, tentu
bertempatlah Allah Ta'ala. Dan bukanlah Malaikat itu berhadap hadapan duduk
bermuka.-muka dengan Allah. Karena kalau demikian tentulah sama kedudukan
mereka, rnalaikat sebagai makhluk, Allah sebagai Khaliq.
3.
Asbabun Nuzul
Ayat
ini mengisyaratkan bahwa setelah menciptakan bumi, mengelola dan mengaturnya,
memberi kekuatan kekuatan rohani yang dikehendakinya yang menjadi penyebab
dibumi, serta menjadi semacam kekuatan bagi masing-masing yang senantiasa
berada padanya, allah pun menciptakan manusia dengan dilngkapi kekuatan yang
mampu membuat mereka dapat mengelola dan menata segala bentuk kekuatan serta
menundukannya untuk kemakmuran bumi.
Dengan
kemampuan akal, manusia bisa mengelola alam semesta dengan penuh kebebasan.
Manusia dapat berkreasi, mengolah pertambangan , tumbuh tumbuhan. Dengan kemampuan
akalnya, manusia dapat menemukan hasil-hasil baru seperti teknologi modern dan
lainya. Semuanya ini diciptakan allah
yang maha kuasa untuk kepentingan umat manusia.
Hal
ini menunjukan bahwa manusia dianugerahi akal , dengan bakat-bakat dan
keistimewaan dalam dirinya. Sehingga ia mampu melaksanakan fungsinya sebagai
khalifah di mukabumi . dengan segala kemampuanya manusia dapat mengungkapkan
keajaiban-keajaiban ciptaan Allah SWT.
4.Tafsir
Ayat
Menurut Ibnu
Katsir, Imam Al-Qurthubi dan ulama yang lain telah menjadikan ayat ini sebagai
dalil wajibnya menegakkan khilafah untuk menyelesaikan dan memutuskan
pertentangan antara manusia, menolong orang yang teraniaya, menegakkan hukum
Islam, mencegah merajalelanya kejahatan dan masalah-masalah lain yang
tidak dapat terselesaikan kecuali dengan adanya imam (pimpinan).
Selanjutnya
Ibnu Katsir menukilkan kaidah Ushul Fiqh yang berbunyi:
وَمَا لاَ
يـَتـِمُّ اْلـوَاجـِبُ إِلاَّ بِهِ فَهـُوَ وَاجـِبٌ.
“Sesuatu yang menyebabkan kewajiban tidak dapat terlaksana dengan sempurn,maka dia
menjadi wajib adanya”.
Ayat lain yang
menjadi dalil wajibnya menegakkan khilafah adalah:
َاأَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيْعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُوْلِي اْلأَمْرِ
مِنْكُمْ {النساء: 59}
“Hai
orang-orang yang beriman, taatlah kamu kepada Allah dan taatlah kamu kepada
Rasul dan Ulil Amri di antara kamu, (QS.An-Nisa:
59).
Pada ayat
ini Allah memerintahkan agar orang yang beriman mentaati Ulil Amri. Menurut
Al-Mawardi, Ulil Amri adalah pemimpin yang memerintah umat Islam. Tentu
saja Allah tidak memerintahkan umat Islam untuk mentaati seseorang yang tidak
berwujud sehingga jelaslah bahwa mewujudkan kepemimpinan Islam adalah
wajib. Ketika Allah memerintahkan untuk mentaati Ulil Amri berarti juga
memerintahkan untuk mewujudkannya, demikian menurut Taqiyuddin An-Nabhani.
Kewajiban
menegakkan khilafah juga didasarkan kepada beberapa hadits Rasulullah
Sallallahu ‘Alaihi Wasallam antara lain:
لاَ يَحـِلُّ
لـِثَلاَثـَةِ يَكـُوْنـُوْنَ بـِفـَلاَةِ مـِنْ فـَلاَةِ اْلاَرْضِ إِلاَّ اَنْ
يـُؤَمـِّرَ عـَلـَيْهـِمْ اَحَـدَهُـمْ {رواه أحمد}.
“Tidak halal
bagi tiga orang yang berada di permukaan bumi kecuali mengangkat salah seorang
diantara mereka menjadi pimpinan” (HR.Ahmad).
Asy-Syaukani
berkata:”hadits ini merupakan dalil wajibnya menegakkan kepemimpinan di
kalangan umat Islam. Dengan adanya pimpinan umat Islam akan tehindar
dari perselisihan sehingga terwujud kasih sayang diantara mereka. Apabila
kepemimpinan tidak ditegakkan maka masing-masing akan bertindak
menurut pendapatnya yang sesuai dengan keinginannya sendiri. Di samping
itu kepemimpinan akan menghapuskan persengketaan dan mewujudkan persatuan”.
Sabda
Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam:
كَانَتْ
بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمُ اْلأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ
نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لاَ نَبِيَّ بَعْدِي وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُونَ
قَالُوا فَمَا تَأْمُرُنَا قَالَ فُوا بِبَيْعَةِ اْلأَوَّلِ فَاْلأَوَّلِ
أَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ فَإِنَّ اللَّهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ {رواه
البخاريعن ابى هريرة}.
"Dahulu Bani Israil senantiasa dipimpin oleh para Nabi, setiap mati
seorang Nabi diganti oleh Nabi lainnya dan sesudahku ini tidak ada lagi seorang
Nabi dan akan terangkat beberapa khalifah bahkan akan bertambah banyak. Sahabat
bertanya: “Ya Rasulullah, apa yang engkau perintahkan kepada kami? Beliau
bersabda: ”Tepatilah bai’atmu pada yang pertama, maka untuk yang pertama dan
berilah kepada mereka haknya, maka sesungguh nya Allah akan menanyakan apa yang
digembala kannya.” (HR.Al-Bukhari dari Abu Hurairah).
Hadits ini
di samping menginformasikan kondisi Bani Israil sebelum Rasulullah Sallallahu
‘Alahi Wasallam diutus sebagai Rasul dan Nabi terakhir yangs selalu dipimpin
oleh para Nabi, juga merupakan Nubuwwah Rasulullah Sallallahu ‘Alahi Wasallam
tentang peristiwa yang akan dialami umat Islam setelah kewafatan beliau.
Nubuwwah
adalah pengetahuan yang diberikan oleh Allah kepada Rasulullah Sallallahu
‘Alahi Wasallam tentang peristiwa yang akan terjadi.
Pada hadits
ini Rasulullah Sallallahu ‘Alahi Wasallam menjelaskan bahwa setelah
kewafatan beliau umat Islam akan dipimpin oleh para khalifah, seperti Bani
Israil dipimpin oleh para Nabi. Para khalifah ini akan memimpin
umat Islam seperti para Nabi memimpin Bani Israil hanya saja mereka tidak
menerima wahyu.
Oleh karena
itu Abu Al-Hasan Al-Mawardi (w.450 H) mendefinisikan Imaamah (kepemimpinan umat
Islam) sebagai
موضوعة لخلافة النبوة فى حراسة الدين وسياسة الدنيا.
“Kedudukan
yang diadakan untuk menggantikan kenabian dalam rangka memelihara agama dan
mengatur dunia).
Kata السياسة yang merupakan masdar dari kata ساس- يسوس ,
menurut An-Nawawi dalam “Syarh Muslim” mempunyai pengertian :
القيام على
الشيئ بما يصلحه. “Mengatur sesuatu dengan cara yang baik”
Ketika
menjelaskan hadits di atas Ibnu Hajar Al-Asqolani berkata:”Di dalamnya
mengandung petunjuk tentang keharusan adanya pemimpin bagi masyarakat (Islam)
yang akan mengatur urusan mereka dan membawanya ke jalan yang baik serta
melindungi orang-orang yang teraniaya”.
Para ulama
berpandangan tentang kewajiban menegakkan khilafah (kepemimpinan umat Islam)
sebagai berikut
a. Asy
Syaikh Muhammad Al-Khudlri Bik
Di
dalam “Itmam Al-Wafa” mengatakan bahwa umat Islam telah
sepakat tentang wajibnya menegakkan khilafah (kepemimpinan Islam) setelah
Rasulullah Sallallhu ‘Alaihi Wasallam.
b. Al-Jurjani
“Mengangkat
Imam adalah salah satu dari sebesar-besar maksud dan
sesempurna-sempurnanya kemaslahatah ummat”.
c. Al-Ghazali.
“Ketentraman
dunia dan keamanan jiwa dan harta tidak tercapai kecuali dengan adanya pimpinan
yang ditaati oleh karenanya orang mengatakan:’Agama dan pimpinan adalah dua
saudara kembar’. Dan karenanya pula orang mengatakan:’Agama adalah sendi dan
pimpinan adalah pengawal. Sesuatu yang tidak ada akan hancur, dan
sesuatu yang tidak ada pengawal akan tersia-sia.
d. Ibnu
Khaldun
“Mengangkat
Imam adalah wajib. Telah diketahui wajibnya pada syara’ dan
ijma’ sahabat dan tabi’in. mengingatbahwa para sahabat segera membai’at
Abu Bakar stelah Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam wafat dan menyerahkan
urusan masyarakat kepadanya. Demikian pula pada tiap masa sesudah itu
tidak pernah masyarakat diabiarkan dalam keadaan tidak
berpemimpin. Semuanya merupakan ijma’ yang menunjukkan kewajiban adanya
Imam.
e. Al-Mawardi
“Andaikata
tidak ada Imam, masyarakat tentu menjadi kacau balau (anarkhis) dan tidak ada
yang memperhatikan kepentingan mereka.
f. Yusuf
Al-Qardhawi
“Disebutkan
dalam “Mandzumah Al-Yanharah”
“Kewajiban mengangkat Imam yang adil
adalah ketentuan syara’ bukan ketetapan akal”.
Oleh karena
itu muslimin yang tidak memiliki Imam atau Khalifah, maka mereka
semuanya menanggung dosa.Karena mereka telah melalaikan satu kewajiban, yaitu
fardhu kifayah yang menjadi tanggung jawab mereka bersama untuk
melaksanakannya.[3]
Ayat di atas dapat diambil kesimpulan bahwa kehendaknya hal
ini dapat dijadikan sebagai petunjuk bagi para malaikat agar mengetahui bahwa
segala perbuatan Allah SWT itu pasti mengandung hikmah dan kesempurnaan yang
mutlak sekalipun bagi para malaikat masih tampak samar[4]
-Hadits
tentang manusia sebagai khalifah dan tugasnya
عَنْ عَبْدِ الله بن عُمَر رَضِيَ الله عَنْهُ قَالَ
سَمِعْتُ رَسُوْلُ الله صلعم يَقُوْلُ: كُلُّكُم رَاعٍ وَكُلُّكُم مَسْؤُوْلٌ عَنْ
رَعِيَّتِهِ وَالْاِمَامُ رَاعٍ وَمَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالرَّجُلُ رَاعٍ
فىِ اَهْلِهِ وَهُوَ وَمَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ, وَالمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ فِى
بَيْتِ زَوْجِهَا وَمَسْؤُلَةٌ عَنْ رَاعِيَّتِهَا, وَالخَادِمُ رَاعٍ فِى مَالِ
سَيِّدِهِ وَمَسْؤُلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ. وَقَالَ أَنْ قَالَ: ,َالرَّجُلُ رَاعٍ
فِى مَالِ أَبِيْهِ وَهُوَ َمَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَكُلُّكُم رَاعٍ
وَكُلُّكُم مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ (رواه البخارى ومسلم والترمذى)
Artinya:
Dari Abdullah bin Umar ra, ia
berkata, Saya mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Setiap kamu adalah pemimpin
dan bertanggungjawab atas apa yang dipimpinnya. Imam (kepala negara) adalah pemimpin
dan bertanggung jawab atas rakyatnya. Lelaki adalah pemimpin dalam keluarganya
dan bertanggung jawab atas anggota keluarganya. Dan seorang perempuan adalah
pemimpin dalam rumah tangga suaminya dan bertanggung jawab atas semua anggota
keluarganya. Seorang pembantu adalah pemimpin bagi harta majikannya dan
bertanggung jawab atas keselamatan dan keutuhan hartanya.” Abdullah berkata,
“Aku mengira Rasulullah mengatakan pula bahwa seorang adalah pemimpin bagi
harta ayahnya dan bertanggung jawab atas keselamatan dan keutuhan hartanya itu.
Semua kamu adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas segala yang dipimpinnya.”[5]
Takhrij
Hadis
Hadis ini Shahih,
diriwayatkan oleh
1. Imam Bukhori
2. Imam Muslim
3. Imam Tirmidzi
D. Munasabah Ayat
Di
kaitkan dengan ayat sebelumnya, ayat di atas merupakan rangkaian ayat yang
menjelaskan tugas manusia sebagai
khalifah di muka bumi. Dapat kita lihat pula munasabah ayat pada
Q.S Shad, 38\26
Artinya:
Hai Daud,
sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka
berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu
mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah.
Sesungguhnya orang-orang yang sesat darin jalan Allah akan mendapat azab yang
berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.(Q.S Shad 26)
BAB
II
PENUTUP
-Kesimpulan
Kesimpulan
yang dapat di ambil adalah manusia di ciptakan oleh Allah SWT dimuka bumi dalam
rangka menjalankan tugas dengan menjadi khalifah, selain menjadi khalifah manusia pun memiliki amanah dari allah untuk
memelihara alam dengan larangan untuk merusak bumi dan menjadi pemimpin dalam
dunia, baik itu pemimpin warga ataupun diri sendiri, dan Allah SWT mengangkat
manusia sebagai khalifah pun dengan niat agar manusia dapat berbuat Amar Ma’ruf
Nahi Mungkar dan beribadah kepada-Nya dengan sebenar-benarnya ibadah.
Daftar Pustaka
Al-Qur’anul
Karim & Ashbabunnuzul,Departemen Agama RI,Tanggerang: PT Panca
cemerlang,2010.
Ahmad Musthafa Al-Maraghi. 1992. Tafsir Al- Maraghi 1. Seamarang. Toha Putra Semarang.
Moh. Matsna. 2007. Al-Qur’an Hadits Madrasah Aliyah. Semarang. Karya Toha Putra.
Musa Asy’arie, Manusia
Pembentuk Kebudayaan dalam Al-Qur’an,(Yogyakarta: LSIF, 1992).
Tobroni dan Samsul
Arifin, Islam Pluralisme Budaya dan Politik, (Yogyakarta: SI
Press, 1994).
http://syabab1924.blogspot.co.id/2009/10/tafsir-al-quran-surah-baqarah-ayat-30.html
(18-06-16.10:19)
[1] Tobroni dan Samsul Arifin, Islam Pluralisme Budaya dan Politik, (Yogyakarta: SI Press, 1994), h. 53
[2]
Musa
Asy’arie, Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam Al-Qur’an,(Yogyakarta:
LSIF, 1992), h. 38
[4] Ahmad Musthafa Al-Maraghi. 1992. Tafsir Al- Maraghi 1. Seamarang. Toha Putra Semarang.
hlm. 135-137
[5] Moh. Matsna. 2007. Al-Qur’an
Hadits Madrasah Aliyah. Semarang.
Karya Toha Putra, hlm.23