Minggu, 19 Juni 2016

tugas dan kedudukan manusia sebagai khalifah


TUGAS MANUSIA SEBAGAI KHALIFAH ALLAH SWT
 DI BUMI
Disusun guna memenuhi Ujian Akhir Smester
Mata Kuliah : Al-Qur’an Hadist
Dosen Pembimbing : Dra. Urwati HN, M.Pd.I
           

DISUSUN OLEH :

Nama                         :M. Mahfudz Nasir
NPM                          : 1511010297
Fak/Jur/Smeter          : Tarbiah/PAI/II
Kelas                         : F



 








Description: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjQCXieOjejW9b7XnouQI9dLn1k_20XTJSXgO3q4K6dfC2GCnfUHU5k71DWUC15X3yy1sAIZ8Ql8GrJX29kA9xK3M05fX07ljz9mUXuiyuOAEAcuprg-wOD5qp-PA__jOuSPSiB6_9trFnX/s1600/Logo_IAIN_Raden_Intan_Bandar_Lampung.jpg

                                                     

                              
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM  FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI RADEN INTAN LAMPUNG 2015/2016

BAB I
PEMBAHASAN
A. Pengertian khalifah
Menurut bahasa, Khalifah (خليفة Khalīfah) merupakan mashdar dari fi’il madhi khalafa , yang berarti : menggantikan atau menempati tempatnya.
Sedangkan dalam pengertian syariah, Khailifah digunakan untuk  menyebut orang yang menggantikan Nabi Muhammad SAW (setelah beliau wafat) dalam kepemimpinan Negara Islam.Khalifah juga sering disebut sebagai Amīr al-Mu’minīn (أمير المؤمنين) atau “pemimpin orang yang beriman”
Hanya saja, para ulama mempunyai sudut pandang yang berbeda-beda mengenai kedudukan Khalifah. Adanya perbedaan sudut pandang inilah yang menyebabkan ada banyaknya definisi untuk khalifah (mereka tidak meyepakati satu definisi tertentu untuk khalifah).

Beberapa definisi khalifah menurut para ulama:
1.      menurut, Imam Al-Mawardi (w. 450 H/1058 M), Khalifah ditetapkan bagi pengganti kenabian dalam penjagaan agama dan pengaturan urusan dunia
2.      menurut, Imam Al-Baidhawi (w. 685 H/1286 M), Khalifah adalah pengganti bagi Rasulullah SAW oleh seseorang dari beberapa orang dalam penegakan hukum-hukum syariah, pemeliharaan hak milik umat, yang wajib diikuti oleh seluruh umat .
3.      menurut, Imam Al-Juwayni (w. 478 H/1085 M), Khalifah adalah kepemimpinan yang bersifat menyeluruh (riyasah taammah) sebagai kepemimpinan yang berkaitan dengan urusan khusus dan urusan umum dalam kepentingan-kepentingan agama dan dunia.
Di dalam kepemerintahannya, Khalifah berperan sebagai kepala ummat baik urusan Negara maupun urusan agama. Pengangkatan khalifah dilakukan baik melalui penunjukkan ataupun melalui majelis Syura’ (majelis Ahlul Ilmi wal Aqdi ) yakni ahli ilmu keagamaan dan mengerti permasalahan ummat.



B. Tugas Manusia sebagai khalifah Allah SWT di Bumi

di samping manusia berfungsi sebagai khalifah, juga bertugas untuk mengabdi kepada Allah sebagaimana dalam surat  Az-Zariyatayat 56. Dengan demikian manusia itu mempunyai fungsi ganda, sebagai khalifah dan sekaligus sebagai ‘abd. Fungsi sebagai khalifah tertuju kepada pemegang amanah Allah untuk penguasaan, pemanfaatan, pemeliharaan, dan pelestarian alam raya yang berujung kepada pemakmurannya. Fungsi ‘abd bertuju kepada penghambaan diri semata-mata hanya kepada Allah. Tugas manusia ini pada dasarnya secara implisit menggambarkan pandangan Islam yang memandang manusia dengan pandangan yang positif dan konstrukti.[1]

Khalifah adalah seseorang yang diberi tugas sebagai pelaksana dari tugas-tugas yang telah ditentukan. Jika manusia sebagai khalifatullah di bumi, maka ia memiliki tugas-tugas tertentu sesuai dengan tugas-tugas yang telah digariskan oleh Allah selama manusia itu berada di bumi sebagai khalifatullah. Jika kita menyadari diri kita sebagai khalifah Allah, sebenarnya tidak ada satu manusia pun di atas dunia ini yang tidak mempunyai “kedudukan” ataupun “jabatan”. Jabatan-jabatan lain yang bersifat keduniaan sebenarnya merupakan penjabaran dari jabatan pokok sebagai khalifatullah. Jika seseorang menyadari bahwa jabatan keduniawiannya itu merupakan penjabaran dari jabatannya sebagai khalifatullah, maka tidak ada satu manusia pun yang akan menyelewengkan jabatannya. Sehingga tidak ada satu manusia pun yang akan melakukan penyimpangan-penyimpangan selama dia menjabat. Jabatan manusia sebagai khalifah adalah amanat Allah. Jabatan-jabatan duniawi, misalkan yang diberikan oleh atasan kita, ataupun yang diberikan oleh sesama manusia, adalah merupakan amanah Allah, karena merupakan penjabaran dari khalifatullah. Sebagai khalifatullah, manusia harus bertindak sebagaimana Allah bertindak kepada semua makhluknya.
Pada dasarnya, semua makhluk Allah di atas bumi ini beribadah menurut kondisinya. Paling tidak, ibadah mereka itu adalah bertasbih kepada Allah. Disebutkan dalam Al-Qur’an Surah Al-Baqarah:
Yushabbihu lillahi ma fissamawati wama fil ardh.
Bebatuan, pepohonan, gunung, dan sungai misalkan, semuanya beribadah kepada Allah dengan cara bertasbih. Dalam hal ini, janin yang berada di dalam rahim ibu beribadah sesuai dengan kondisinya, yaitu dengan cara bertasbih. Ketika Allah akan meniupkan roh ke dalam janin, maka Allah bertanya dulu kepada janin tersebut. Allah mengatakan “Aku akan meniupkan roh ke dalam dirimu. Tetapi jawab dahulu pertanyaan-Ku, baru Aku akan tiupkan roh itu ke dalam dirimu. Apakah engkau mengakui Aku sebagai Tuhanmu?” Lalu dijawab oleh janin tersebut, “Iya, aku mengakui Engkau sebagai Tuhanku.”
Dari sejak awal, ternyata manusia itu sebelum ada rohnya, atau pada saat rohnya akan ditiupkan, maka Allah menanyakan dahulu apakah si janin mau mengakui-Nya sebagai Tuhan. Jadi, janin tersebut beribadah menurut kondisinya, yaitu dengan bertasbih kepada Allah. Tidak ada makhluk Allah satupun yang tidak bertasbih kepada-Nya Manusia mulai melakukan penyimpangan dan pembangkangan terhadap Allah yaitu pada saat ia berusia akil baligh hingga akhir hayatnya. Tetapi, jika kita ingat fungsi kita sebagai khalifatullah, maka takkan ada manusia yang melakukan penyimpangan. Makna sederhana dari khalifatullah adalah “pengganti Allah di bumi”. Setiap detik dari kehidupan kita ini harus diarahkan untuk beribadah kepada Allah, seperti ditegaskan oleh Allah di dalam firman-Nya:
-Adz Dzariyat 56



1. Makna Mufrodat




2. Terjemah
“Tidak Aku ciptakan manusia dan jin kecuali untuk menyembah kepada-Ku.”(Q.S Adz-Dzariat : 56)
3. Ashbabun Nuzul
Ketika para malaikat mengetahui bahwa Allah SWT akan menciptakan khalifah di muka bumi. Allah SWT menyampaikan perintah-Nya kepada mereka secara terperinci. Dia memberitahukan bahwa Dia akan menciptakan manusia dari tanah. Maka ketika Dia menyempurnakannya dan meniupkan roh di dalamnya, para malaikat harus bersujud kepadanya. Yang harus dipahami bahwa sujud tersebut adalah sujud penghormatan, bukan sujud ibadah, karena sujud ibadah hanya diperuntukkan kepada Allah SWT.
4. Tafsir
Menrut Prof. Dr. Muhammad Quraish Shihab dalam tasirnya, Al-Misbah, penafsiar an ayat di atas adalah sebagai berikut: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia untuk satu manfaat yang kembali pada diri-Ku. Aku tidak menciptakan mereka melainkan agar tujuan atau kesudahan aktivitas meraka adalah beribadah kepada-Ku.
Ayat di atas menggunakan bentuk persona pertama (Aku), karena memang penekannya adalah beribadah kepada-Nya semata-mata, maka redaksi yang digunakan berbentuk tunggal dan tertuju kepada-Nya semata-mata tanpa memberi kesan adanya keterlibatan selain Allah swt, huruf lam disini sama dengan huruf lam dalam firman Allah SWT:
 “ Maka dipungutlah ia oleh keluarga Fir'aun yang akibatnya Dia menja- di musuh dan Kesedihan bagi mereka. Sesungguhnya Fir'aun dan Ha- man beserta tentaranya adalah orang-orang yang bersalah.”
Bila huruf lam pada liyakuna dipahami dalam arti agar supaya, maka di atas seperti: maka dipungutlah dia oleh keluarga fir’aun agar supaya dia Musa yang dipungut itu menjadi musuh dengan kesedihan bagi mereka.
Thabathaba’I memahami huruf lam pada ayat yang ditafsirkan dalam arti agar supaya, yakni tujuan penciptaan manusia dan jin adalah untuk beribadah. Ulama ini menulis bahwa tujuan apapun bentuknya adalah sesuatu yang digunakan oleh yang bertujuan untuk menyempurnakan apa yang belum sempurna baginya atau menanggulangi kebutuhan/ kekurangannya. Tentu saja hal ini mustahil bagi Allah SWT, karena dia tidak memiliki kebutuhan. Dengan demikian tidak ada lagi baginya yang perlu disempurnakan. Namun disisi lain, suatu perbuatan yang tidak memiliki tujuan adalah perbuatan sia-sia yang perlu dihindari.
Mengapa, hai Muhammad, kamu diperintahkan untuk memperingatkan umat manusia? Kamu diperintahkan untuk memperingatkan bahwa jin dan manusia tidak diciptakan kecuali untuk beribadat kepada-Ku.
Jin dan manusia dijadikan oleh Allah untuk beribadah kepada-Nya. Tegasnya, Allah menjadikan kedua makhluk itu sebagai makhluk-makhluk yang mau beribadah, diberi akal dan panca indera yang mendorong mereka menyembah Allah, untuk beribadahlah tujuan mereka diciptakan. Dengan demikian, ibadah yang dimaksud disini lebih luas jangkauannya daripada ibadah dalam bentuk ritual. Tugas kekahlifahan termasuk dalam makna ibadah dan dengan demikian hakekat ibadah mencakup dua hal pokok.
Pertama : kemantapan makna penghambaan diri kepada Allah dalam hati setiap insan.
Kedua : mengarah kepada Allah dengan setiap gerak pada nurani, pada setiap anggota badan dan setiap gerak dalam hidup.

Kalau begitu, sepanjang hayat kita sebenarnya adalah untuk beribadah kepada Allah. Dalam pandangan Islam, ibadah itu ada dua macam, yaitu: ibadah primer (ibadah mahdhah) dan ibadah sekunder (ibadah ghairu mahdhah). Ibadah mahdhah adalah ibadah yang langsung, sedangkan ibadah ghairu mahdhah adalah ibadah tidak langsung. Seseorang yang meninggalkan ibadah mahdhah, maka akan diberikan siksaan oleh Allah. Sedangkan bagi yang melaksanakannya, maka akan langsung diberikan ganjaran oleh Allah. Ibadah mahdhah antara lain: shalat, puasa, zakat, dan haji. Sedangkan ibadah ghairu mahdhah adalah semua aktifitas kita yang bukan merupakan ibadah mahdhah tersebut, antara lain: bekerja, masak, makan, dan menuntut ilmu.
Mengutip pendapatnya Musa Asy’arie, menurutnya bahwa tugas seorang khalifah, sebagai pengganti yang memegang kepemimpinan dan kekuasaan, pada dasarnya mengandung implikasi moral, karena kepemimpinan dan kekuasaan yang dimiliki seorang khalifah dapat disalahgunakan untuk kepentingan mengejar kepuasan hawa nafsunya, atau sebaliknya juga dapat dipakai untuk kepentingan menciptakan kesejahteraan hidup bersama. Oleh karena itu, kepemimpinan dan kekuasaan manusia harus tetap diletakan dalam kerangka eksistensi manusia yang bersifat sementara, sehingga dapat dihindari dari kecenderungan pemutlakan kepemimpinan atau kekuasaan, yang akibatnya dapat merusak tatanan dan harmoni kehidupan[2]
Hal itu juga berkaitan dengan  Al Qosos ayat 77 yang menerangkan bahwasanya manusia dilarang menimbulkan kerusakan di muka bumi.






1.Mufrodat










2. Terjemah
Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.(Al Qosos 77)
3. Asbabun Nuzul
Surat Al Qashash terdiri atas 88 ayat termasuk golongan surat-surat Makkiyyah. Dinamai dengan Al Qashash, karena pada ayat 25 surat ini terdapat kata Al Qashash yang berarti cerita. Ayat ini turun karena kesombongan Qarun yang terlampau kikir akan harta yang ia miliki. Sehingga kaumnya menasihatinya akan tetapi tidak ia hiraukan.

4.  Tafsir
Al-a’masy berkata dari al-Minhal bin ‘Amr dari Sa’id bin Jubair, bahwa Ibnu ‘Abbas berkata: (“Sesungguhnya Qarun adalah termasuk kaum Musa.”) dia adalah anak pamannya.
Demikian pula yang dikatakan oleh Ibrahim an-Nakha’i, ‘Abdullah bin al-Harits bin Naufal, Simak bin Harb, Qatadah, Malik bin Dinar, Ibnu Juraij dan selain mereka, bahwa Qarun adalah anak dari pamannya Musa as. Ibnu Juraij berkata: “Dia adalah Qarun bin Yash-hab bin Qahits. Dan Musa [adalah] bin ‘Imraan bin Qahits.” Ibnu Juraij dan kebanyakan ahli ilmu berkata: “Bahwa Qarun adalah anak dari pamannya Musa.” wallaaHu a’lam.
Firman-Nya: wa aatainaaHu minal kunuuzi (“dan Kami telah menganugerahkan kepadanya perbendaharaan.”) yaitu harta benda, maa anna mafaatihaHuu latanuu bil ‘ushbati ulil quwwati (“Yang kunci-kuncinya sungguh berat dipikul oleh sejumlah orang yang kuat-kuat.”) yaitu kunci-kunci itu berat sekali karena begitu banyaknya yang dibawa oleh sejumlah orang.
Al-A’masy berkata dari Khaitsamah: “Kunci-kunci perbendaharaan Qarun terbuat dari kulit. Setiap satu kunci seperti satu buah jari dan setiap satu kunci berada di sebuah kotak penyimpanannya.” Wallaahu a’lam.
Firman-Nya: idz qaala laHuu qaumuHuu laa tafrah innallaaHa laa yuhibbul farihiin (“ketika kaumnya berkata kepadanya: ‘Janganlah kamu terlalu bangga, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang terlalu membanggakan diri.’”) yaitu orang-orang shalih dari kaumnya menasehatinya. Maka mereka berkata dengan memberikan nasehat: “Janganlah engkau terlalu bangga dengan apa yang engkau miliki.” Yang mereka maksudkan adalah, janganlah engkau sombong dengan harta yang engkau miliki.

 (“sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang terlalu membanggakan diri.”)
ibnu ‘Abbas berkata: “Yaitu orang-orang yang sombong.” Sedangkan Mujahid berkata: “Yaitu orang-orang yang sombong dan angkuh, tidak bersyukur kepada Allah atas karunia yang diberikan-Nya kepada mereka.”
firman-Nya:


 (“Dan carilah dari apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu [kebahagiaan] negeri akhirat dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari [keselamatan] dunia ini.”) yaitu gunakanlah apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu berupa harta yang melimpah dan kenikmatan yang panjang dalam berbuat taat kepada Rabbmu serta bertaqarrub kepada-Nya dengan berbagai amal-amal yang dapat menghasilkan pahala di dunia dan di akhirat.

 (“janganlah kamu melupakan bagianmu dari [keselamatan] dunia ini”)
yaitu apa-apa yang dibolehkan Allah di dalamnya berupa makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal dan pernikahan. Sesungguhnya Rabbmu memiliki hak, dirimu memiliki hak, keluargamu memiliki hak serta orang yang berziarah kepadamu pun memiliki hak. Maka berikanlah setiap sesuatu dengan haknya.

 (“Dan berbuat baiklah sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu.”) yaitu berbuat baiklah kepada makhluk-Nya sebagaimana Dia telah berbuat baik kepadamu.

 (“Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi.”) yaitu janganlah semangatmu hanya menjadi perusak di muka bumi dan berbuat buruk kepada makhluk Allah.

 (“Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”)
 Jadi dalam ayat ini dapat di simpulkan bahwa sanya manusia sebagai khalifah di mukabumi ini mempunyai peran untuk menjaga bumi, memanfaatkan hasil dari bumi berbuat baik kepada mahluk allah swt yang lainya dan manusia pun dilarang oleh allah untuk menjadikan kerusakan di bumi ini.

C. Ayat Tentang Manusia Sebagai Khalifah
Al Baqoroh Ayat 30









1. Mufrodat
















2. Terjemah

 “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui." (QS. Al-Baqarah:30)
            Mazhab Khalaf berpendapat bahwasanya apa yang dihikayatkan Tuhan ini niscaya tidak sebagai yang kita pikirkan. Niscaya pertemuan Allah dengan MalaikatNya itu tidak terjadi di satu tempat; karena kalau terjadi di satu tempat, tentu bertempatlah Allah Ta'ala. Dan bukanlah Malaikat itu berhadap­ hadapan duduk bermuka.-muka dengan Allah. Karena kalau demikian tentulah sama kedudukan mereka, rnalaikat sebagai makhluk, Allah sebagai Khaliq.

3. Asbabun Nuzul
Ayat ini mengisyaratkan bahwa setelah menciptakan bumi, mengelola dan mengaturnya, memberi kekuatan kekuatan rohani yang dikehendakinya yang menjadi penyebab dibumi, serta menjadi semacam kekuatan bagi masing-masing yang senantiasa berada padanya, allah pun menciptakan manusia dengan dilngkapi kekuatan yang mampu membuat mereka dapat mengelola dan menata segala bentuk kekuatan serta menundukannya untuk kemakmuran bumi.
Dengan kemampuan akal, manusia bisa mengelola alam semesta dengan penuh kebebasan. Manusia dapat berkreasi, mengolah pertambangan , tumbuh tumbuhan. Dengan kemampuan akalnya, manusia dapat menemukan hasil-hasil baru seperti teknologi modern dan lainya.  Semuanya ini diciptakan allah yang maha kuasa untuk kepentingan umat manusia.
Hal ini menunjukan bahwa manusia dianugerahi akal , dengan bakat-bakat dan keistimewaan dalam dirinya. Sehingga ia mampu melaksanakan fungsinya sebagai khalifah di mukabumi . dengan segala kemampuanya manusia dapat mengungkapkan keajaiban-keajaiban ciptaan Allah SWT.

4.Tafsir Ayat
Menurut Ibnu Katsir, Imam Al-Qurthubi dan ulama yang lain telah menjadikan ayat ini sebagai dalil wajibnya menegakkan khilafah untuk menyelesaikan dan memutuskan pertentangan antara manusia, menolong orang yang teraniaya, menegakkan hukum Islam, mencegah merajalelanya kejahatan dan masalah-masalah lain yang tidak dapat terselesaikan kecuali dengan adanya imam (pimpinan).
Selanjutnya Ibnu Katsir menukilkan kaidah Ushul Fiqh yang berbunyi:
وَمَا لاَ يـَتـِمُّ اْلـوَاجـِبُ إِلاَّ بِهِ فَهـُوَ وَاجـِبٌ.
“Sesuatu yang menyebabkan kewajiban tidak dapat terlaksana dengan sempurn,maka dia menjadi wajib adanya”.
Ayat lain yang menjadi dalil wajibnya menegakkan khilafah adalah:
َاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيْعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُوْلِي اْلأَمْرِ مِنْكُمْ {النساء: 59}
“Hai orang-orang yang beriman, taatlah kamu kepada Allah dan taatlah kamu kepada Rasul dan Ulil Amri di antara kamu, (QS.An-Nisa: 59).
Pada ayat ini Allah memerintahkan agar orang yang beriman mentaati Ulil Amri. Menurut Al-Mawardi, Ulil Amri adalah pemimpin yang memerintah umat Islam. Tentu saja Allah tidak memerintahkan umat Islam untuk mentaati seseorang yang tidak berwujud sehingga jelaslah bahwa mewujudkan kepemimpinan Islam adalah wajib. Ketika Allah memerintahkan untuk mentaati Ulil Amri berarti juga memerintahkan untuk mewujudkannya, demikian menurut Taqiyuddin An-Nabhani.
Kewajiban menegakkan khilafah juga didasarkan kepada beberapa hadits Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam antara lain:
لاَ يَحـِلُّ لـِثَلاَثـَةِ يَكـُوْنـُوْنَ بـِفـَلاَةِ مـِنْ فـَلاَةِ اْلاَرْضِ إِلاَّ اَنْ يـُؤَمـِّرَ عـَلـَيْهـِمْ اَحَـدَهُـمْ {رواه أحمد}.
“Tidak halal bagi tiga orang yang berada di permukaan bumi kecuali mengangkat salah seorang diantara mereka menjadi pimpinan” (HR.Ahmad).
Asy-Syaukani berkata:”hadits ini merupakan dalil wajibnya menegakkan kepemimpinan di kalangan umat Islam. Dengan adanya pimpinan umat Islam akan tehindar dari perselisihan sehingga terwujud kasih sayang diantara mereka. Apabila kepemimpinan tidak ditegakkan maka masing-masing akan bertindak menurut pendapatnya yang sesuai dengan keinginannya sendiri. Di samping itu kepemimpinan akan menghapuskan persengketaan dan mewujudkan persatuan”.
Sabda Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam:
كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمُ اْلأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لاَ نَبِيَّ بَعْدِي وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُونَ قَالُوا فَمَا تَأْمُرُنَا قَالَ فُوا بِبَيْعَةِ اْلأَوَّلِ فَاْلأَوَّلِ أَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ فَإِنَّ اللَّهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ {رواه البخاريعن ابى هريرة}.
"Dahulu Bani Israil senantiasa dipimpin oleh para Nabi, setiap mati seorang Nabi diganti oleh Nabi lainnya dan sesudahku ini tidak ada lagi seorang Nabi dan akan terangkat beberapa khalifah bahkan akan bertambah banyak. Sahabat bertanya: “Ya Rasulullah, apa yang engkau perintahkan kepada kami? Beliau bersabda: ”Tepatilah bai’atmu pada yang pertama, maka untuk yang pertama dan berilah kepada mereka haknya, maka sesungguh nya Allah akan menanyakan apa yang digembala kannya.” (HR.Al-Bukhari dari Abu Hurairah).
Hadits ini di samping menginformasikan kondisi Bani Israil sebelum Rasulullah Sallallahu ‘Alahi Wasallam diutus sebagai Rasul dan Nabi terakhir yangs selalu dipimpin oleh para Nabi, juga merupakan Nubuwwah Rasulullah Sallallahu ‘Alahi Wasallam tentang peristiwa yang akan dialami umat Islam setelah kewafatan beliau.
Nubuwwah adalah pengetahuan yang diberikan oleh Allah kepada Rasulullah Sallallahu ‘Alahi Wasallam tentang peristiwa yang akan terjadi.
Pada hadits ini Rasulullah Sallallahu ‘Alahi Wasallam menjelaskan bahwa setelah kewafatan beliau umat Islam akan dipimpin oleh para khalifah, seperti Bani Israil dipimpin oleh para Nabi. Para khalifah ini akan memimpin umat Islam seperti para Nabi memimpin Bani Israil hanya saja mereka tidak menerima wahyu.
Oleh karena itu Abu Al-Hasan Al-Mawardi (w.450 H) mendefinisikan Imaamah (kepemimpinan umat Islam) sebagai
موضوعة لخلافة النبوة فى حراسة الدين وسياسة الدنيا.
“Kedudukan yang diadakan untuk menggantikan kenabian dalam rangka memelihara agama dan mengatur dunia).
Kata السياسة yang merupakan masdar dari kata ساس- يسوس , menurut An-Nawawi dalam “Syarh Muslim” mempunyai pengertian :
القيام على الشيئ بما يصلحه. “Mengatur sesuatu dengan cara yang baik”
Ketika menjelaskan hadits di atas Ibnu Hajar Al-Asqolani berkata:”Di dalamnya mengandung petunjuk tentang keharusan adanya pemimpin bagi masyarakat (Islam) yang akan mengatur urusan mereka dan membawanya ke jalan yang baik serta melindungi orang-orang yang teraniaya”.
Para ulama berpandangan tentang kewajiban menegakkan khilafah (kepemimpinan umat Islam) sebagai berikut
a. Asy Syaikh Muhammad Al-Khudlri Bik
Di dalam “Itmam Al-Wafa” mengatakan bahwa umat Islam telah sepakat tentang wajibnya menegakkan khilafah (kepemimpinan Islam) setelah Rasulullah Sallallhu ‘Alaihi Wasallam.
b. Al-Jurjani
“Mengangkat Imam adalah salah satu dari sebesar-besar maksud dan sesempurna-sempurnanya kemaslahatah ummat”.
c. Al-Ghazali.
“Ketentraman dunia dan keamanan jiwa dan harta tidak tercapai kecuali dengan adanya pimpinan yang ditaati oleh karenanya orang mengatakan:’Agama dan pimpinan adalah dua saudara kembar’. Dan karenanya pula orang mengatakan:’Agama adalah sendi dan pimpinan adalah pengawal. Sesuatu yang tidak ada akan hancur, dan sesuatu yang tidak ada pengawal akan tersia-sia.
d. Ibnu Khaldun
“Mengangkat Imam adalah wajib. Telah diketahui wajibnya pada syara’ dan ijma’ sahabat dan tabi’in. mengingatbahwa para sahabat segera membai’at Abu Bakar stelah Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam wafat dan menyerahkan urusan masyarakat kepadanya. Demikian pula pada tiap masa sesudah itu tidak pernah masyarakat diabiarkan dalam keadaan tidak berpemimpin. Semuanya merupakan ijma’ yang menunjukkan kewajiban adanya Imam.
e. Al-Mawardi
“Andaikata tidak ada Imam, masyarakat tentu menjadi kacau balau (anarkhis) dan tidak ada yang memperhatikan kepentingan mereka.
f. Yusuf Al-Qardhawi
“Disebutkan dalam “Mandzumah Al-Yanharah”
 “Kewajiban mengangkat Imam yang adil adalah ketentuan syara’ bukan ketetapan akal”.
Oleh karena itu muslimin yang tidak memiliki Imam atau Khalifah, maka mereka semuanya menanggung dosa.Karena mereka telah melalaikan satu kewajiban, yaitu fardhu kifayah yang menjadi tanggung jawab mereka bersama untuk melaksanakannya.[3]
 Ayat di atas dapat diambil kesimpulan bahwa kehendaknya hal ini dapat dijadikan sebagai petunjuk bagi para malaikat agar mengetahui bahwa segala perbuatan Allah SWT itu pasti mengandung hikmah dan kesempurnaan yang mutlak sekalipun bagi para malaikat masih tampak samar[4]

-Hadits tentang manusia sebagai khalifah dan tugasnya
عَنْ عَبْدِ الله  بن عُمَر رَضِيَ الله عَنْهُ  قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلُ الله صلعم يَقُوْلُ: كُلُّكُم رَاعٍ وَكُلُّكُم مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالْاِمَامُ رَاعٍ وَمَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالرَّجُلُ رَاعٍ فىِ اَهْلِهِ وَهُوَ وَمَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ, وَالمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ فِى بَيْتِ زَوْجِهَا وَمَسْؤُلَةٌ عَنْ رَاعِيَّتِهَا, وَالخَادِمُ رَاعٍ فِى مَالِ سَيِّدِهِ وَمَسْؤُلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ. وَقَالَ أَنْ قَالَ: ,َالرَّجُلُ رَاعٍ فِى مَالِ أَبِيْهِ وَهُوَ َمَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَكُلُّكُم رَاعٍ وَكُلُّكُم مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ (رواه البخارى ومسلم والترمذى)
Artinya:
Dari Abdullah bin Umar ra, ia berkata, Saya mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Setiap kamu adalah pemimpin dan bertanggungjawab atas apa yang dipimpinnya. Imam (kepala negara) adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas rakyatnya. Lelaki adalah pemimpin dalam keluarganya dan bertanggung jawab atas anggota keluarganya. Dan seorang perempuan adalah pemimpin dalam rumah tangga suaminya dan bertanggung jawab atas semua anggota keluarganya. Seorang pembantu adalah pemimpin bagi harta majikannya dan bertanggung jawab atas keselamatan dan keutuhan hartanya.” Abdullah berkata, “Aku mengira Rasulullah mengatakan pula bahwa seorang adalah pemimpin bagi harta ayahnya dan bertanggung jawab atas keselamatan dan keutuhan hartanya itu. Semua kamu adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas segala yang dipimpinnya.[5]

Takhrij Hadis
Hadis ini Shahih, diriwayatkan oleh
1. Imam Bukhori
2. Imam Muslim
3. Imam Tirmidzi
 D. Munasabah Ayat
Di kaitkan dengan ayat sebelumnya, ayat di atas merupakan rangkaian ayat yang menjelaskan tugas manusia sebagai  khalifah di muka bumi. Dapat kita lihat pula munasabah ayat pada Q.S  Shad, 38\26






Artinya:
Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat darin jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.(Q.S Shad 26)








BAB II
PENUTUP
-Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat di ambil adalah manusia di ciptakan oleh Allah SWT dimuka bumi dalam rangka menjalankan tugas dengan menjadi khalifah, selain menjadi khalifah  manusia pun memiliki amanah dari allah untuk memelihara alam dengan larangan untuk merusak bumi dan menjadi pemimpin dalam dunia, baik itu pemimpin warga ataupun diri sendiri, dan Allah SWT mengangkat manusia sebagai khalifah pun dengan niat agar manusia dapat berbuat Amar Ma’ruf Nahi Mungkar dan beribadah kepada-Nya dengan sebenar-benarnya ibadah.









                                          






Daftar Pustaka
Al-Qur’anul Karim & Ashbabunnuzul,Departemen Agama RI,Tanggerang: PT Panca cemerlang,2010.
Ahmad Musthafa Al-Maraghi. 1992. Tafsir Al- Maraghi 1. Seamarang. Toha Putra Semarang.
Moh. Matsna. 2007. Al-Qur’an Hadits Madrasah Aliyah. Semarang. Karya Toha Putra.
Musa Asy’arie, Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam Al-Qur’an,(Yogyakarta: LSIF, 1992).
Tobroni dan Samsul Arifin, Islam Pluralisme Budaya dan Politik, (Yogyakarta: SI Press, 1994).
http://syabab1924.blogspot.co.id/2009/10/tafsir-al-quran-surah-baqarah-ayat-30.html (18-06-16.10:19)







[1] Tobroni dan Samsul Arifin, Islam Pluralisme Budaya dan Politik, (Yogyakarta: SI Press, 1994), h. 53

[2] Musa Asy’arie, Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam Al-Qur’an,(Yogyakarta: LSIF, 1992), h. 38
             [3] http://syabab1924.blogspot.co.id/2009/10/tafsir-al-quran-surah-baqarah-ayat-30.html (18-06-16.10:19)
[4] Ahmad Musthafa Al-Maraghi. 1992. Tafsir Al- Maraghi 1. Seamarang. Toha Putra Semarang. hlm. 135-137
[5] Moh. Matsna. 2007. Al-Qur’an Hadits Madrasah Aliyah. Semarang. Karya Toha Putra, hlm.23

Umat islam akan menyesal jika tidak memperhatikan hal ini

Perhatikanlah hadis nabi yang di kutip dari kitab  berikut ini. سَيَأْتِيْ زَمَانٌ عَلَى اُمَّتِيْ يَفِرُّوْنَ مِنَ الْعُلَمَاءِ وَ...